Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN Darmawan Prasodjo menegaskan pasokan batu bara untuk sistem pembangkit listrik tenaga uap milik perusahaan pelat merah saat ini relatif terkendali.
Kepastian itu disampaikan Darmawan untuk menanggapi hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang belakangan menemukan adanya kekurangan pasokan batu bara yang cukup lebar pada sistem pembangkit batu bara milik PLN sepanjang 2021. Konsekuensinya, terjadi peralihan sumber energi dari batu bara pada bahan bakar minyak (BBM) yang signifikan sepanjang 2021 lalu.
BPK mengungkapkan rencana kebutuhan batu bara PLN sepanjang 2021 mencapai 82.240.161,90 ton. Hanya saja, realisasi pasokan baru sekitar 66.851.722,07 ton atau lebih rendah 15.388.639,83 ton.
Berdasarkan data dari Divisi Batu Bara PLN, terdapat kekurangan pasokan batu bara untuk PLTU pada sistem kelistrikan Jawa Bali sebanyak 6.931.095,53 ton.
Laporan itu tertuang dalam hasil pemeriksaan kepatuhan atas kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik dan perhitungan subsidi listrik tahun anggaran 2021 pada PLN, anak perusahaan dan instansi terkait lainnya yang disahkan Penanggung Jawab Pemeriksaan BPK Nelson Ambarita pada 22 Juni 2022 lalu.
“Pasokan batu bara dalam kondisi aman,” kata Darmawan saat dimintai konfirmasi di Jakarta Convention Center, Rabu (2/11/2022).
Baca Juga
Hanya saja kondisi itu belakangan ikut mengerek biaya pokok produksi listrik (BPP) PLN yang mesti beralih pada energi non batu bara seperti BBM dan gas.
Berdasarkan hasil simulasi secara uji petik pada 10 PLTU milik PLN pada sistem Jawa dan Bali selama 2021 diketahui bahwa pengalihan operasi PLTU ke pembangkit lainnya tersebut meningkatkan biaya bahan bakar pembangkit mencapai Rp346,53 miliar.
Pada kesempatan lain, Darmawan sempat membeberkan BPP listrik berbasis diesel sempat menyentuh di angka Rp23 triliun saat rencana kerja dan anggaran perusahaan atau RKAP menetapkan harga minyak mentah Indonesia atau ICP sebesar US$63 per barel.
“Harga minyak mentah saat ini sudah di atas US$110 per barel, ada dampak pada kenaikan ongkos kami yaitu per dolar per barelnya dampaknya US$500 biaya operasional, maka kenaikkan US$40 sampai US$45 akan berdampak pada Rp20 triliun hingga Rp23 triliun untuk BPP kami,” kata Darmawan saat menggelar konferensi pers, Jakarta, Jumat (1/7/2022).