Bisnis.com, JAKARTA - Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang percepatan swasembada gula konsumsi 2025 dan rafinasi 2030 yang telah beredar terus mendapat sorotan dari berbagai pihak.
Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) I Gusti Ketut Astawa mengatakan, beleid tersebut merupakan niatan Presiden Joko Widodo agar gula produksi dalam negeri tidak hanya memenuhi kebutuhan secara nasional, tetapi juga bisa untuk ekspor. Dia menuturkan, saat ini Indonesia setidaknya selalu impor gula sebesar 1,04 juta ton per tahun.
“[Niat] Pak Presiden kita harus apresiasi, maknanya dia ingin harus swasembada. Mestinya petani menangkap ini sebagai peluang. Bahkan Presiden bilang kalau berlebih bisa keluar atau ekspor,” ujar Ketut dalam diskusi yang diselenggarakan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) di Jakarta Pusat, Rabu (26/10/2022).
Dia membeberkan, tantangan industri gula dalam negeri adalah luas lahan dan produksi yang rendah. Oleh karena itu, Perpres tersebut mencantumkan keharusan produksi untuk ditingkatkan menjadi 93 ton tebu per hektare (ha), rendemen 11,2 persen, dan penambahan luas lahan 700.000 ha. PT Perkebunan Nusantara III (Persero) atau PTPN III yang diberi mandat untuk merealisasikan ketentuan dalam Perpres tersebut.
“Ini kan, bagus sebenarnya, PTPN diberi target. Gimana caranya, biar PTPN yang merealisasikan karena sudah siap ditunjuk oleh pemerintah,” ucap Ketut yang mengaku sudah beberapa kali diundang dalam perumusan Perpres yang dikomandoi Kementerian Perekonomian itu.
Lebih lanjut, Ketut juga menyinggung draf Perpres yang memberi hak kuota impor gula kristal putih dan/atau gula kristal mentah (raw sugar) kepada PTPN III. Menurut dia, tanpa Perpres perusahaan pelat merah itu pun selalu memperoleh kuota impor. Oleh karena itu, kata dia, semua pihak harus melihat bahwa Perpres tersebut untuk memitigasi kebutuhan nasional.
Baca Juga
“Jadi tidak hanya menolak Perpres, menolak impor karena berganti pimpinan juga impor lagi. Jadi pemerintah harus ada cadangan, pemerintah tidak ada cadangan sama sekali. Ini potensi harus dikendalikan. Makanya mitigasinya harus dilihat bahwa problem kita diproduksi harus dibicarakan masing-masing,” ungkap Ketut.
Perpres Swasembada gula saat ini masih terus digodok oleh pemerintah. Nantinya, kata Ketut, setiap stakeholder akan dilibatkan dalam rancangan perpres ini.
“Pembahasan masih berlangsung, masukan masih dimungkinkan. Sebelum ditandatangani bisa diberikan masukan,” tegas Ketut.
Dalam kesempatan yang sama, Profesor dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai rancangan Perpres Swasembada Gula yang akan diundangkan itu tidak realistis. Pasalnya, target yang dituangkan dalam perpres tidak sesuai kenyataan di lapangan. Apalagi, kecenderungan kebijakan Pemerintahan Jokowi kerap membuat lahan pertanian menyusut.
“Ada 508.000 hektare di Jawa saja terjadi peralihan lahan selama 10 tahun terakhir. Ini mau nambah 700.000 hektare. Dari mana, jatuh dari langit?” cetus Dwi Andreas.