Bisnis.com, JAKARTA – Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyampaikan fakta terbaru dari hasil investigasi terbaru dalam kecelakaan maut truk tangki Pertamina di daerah Transyogi pada Juli lalu.
Plt. Kepala Sub Komite Investigai Lalu Lintas Angkutan Jalan KNKT menjelaskan di Jalan Transyogi tidak ditemukan adanya jejak pengereman atau skidmark. Temuan ini pun menurut KNKT sesuai dengan kesaksian pengemudi yang sudah menyatakan adanya masalah pada rem kendaraannya.
“Pengemudi merasakan rem kurang pakem [tidak efektif] di jalan,” ujarnya, Selasa (18/10/2022).
Indikasi malfungsi tersebut saat pengemudi mendengar adanya suara mendesis tetapi tidak tahu darimana asalnya. Pada saat kendaraan berjalan, tekanan angin mencapai 7 bar. Ternyata, pengemudi kesulitan melakukan pengereman saat keluar dari gerbang tol Cimanggis.
Pengemudi pun tidak bisa memindahkan gigi persnelling dari 5 ke 3 karena pedal kopling keras. Hingga akhirnya, pengemudi menarik rem trailer namun tidak bekerja efektif. Pengemudi juga menarik hand brake namun tidak bekerja efektif.
Dengan demikian, kecelakaan yang terjadi di Jalan Transyogi itu bukan disebabkan oleh masalah struktur jalan.Pasalnya, Jalur Transyogi adalah jalur yang termasuk kolektor primer. Kolektor primer adalah jalan yang menghubungkan antara pusat kegiatan nasional dan pusat kegiatan lokal. Adapun jalur itu sedang dalam masa transisi pembinaan dari pemeritah daerah ke pemerintah pusat.
Baca Juga
Jalan Transyogi adalah termasuk dalam jenjang kolektor primer tertinggi, yaitu kolektor primer 1 yang memiliki peran menghubungkan antar ibukota provinsi. Jalan kolektor primer pun, menurut Wildan, merupakan jalur yang didesain untuk kecepatan tinggi. Kecepatan paling rendah untuk jalan jenis itu, kata dia, 40 kilometer per jam untukjenjang terendah dengan lebar minimal 9 meter. Akses jalan ini pun terbatas.
Sementara itu, dari sisi geometris jalan, penampang melintang telah dianalisis untuk mengidentifikasi kecelakaan tabrak depan atau tabrak belakang. Dari hasil investigasi, Jalan Transyogi memiliki enam lajur yang dipisahkan dengan median.
"Ini sangat ideal, artinya jalan ini sesuai regulasinya, tidak ada masalah. Risiko tabrak depan depan dan tabrak depan belakang bisa diminimalisasi," ucapnya.
Adapun, dari sisi alinyemen vertikal, kemiringan lereng atau slope maksimal adalah 7 persen dengan panjang landai kritis 300 meter. Dia mengatakan terdapat perbedaan tinggi 20 meter pada jarak 1 kilometer. Dia juga menilai desain kemiringan di Jalan Transyogi pun, juga telah memenuhi standar.
Menurutnya, dengan desain alinyemen vertikal ini, risiko terjadinya gagal menanjak dan gagal pengereman pada kendaraan besar dapat ditekan. Artinya, desain jalan masih sesuai dengan regulasi. Dari dua hal ini, Wildan menegaskan bahwa risiko tabrak depan, belakang, risiko kegagalan pengeremean, dan gagal menanjak sebetulnya sangat kecil sekali.
"Sebab, jalan ini sudah sesuai regulasi internasional maupun nasional," kata Wildan.
Selanjutnya, dari sisi alinyemen horizontal, Jalan Transyogi memiliki struktur yang ideal. Menurut Wildan, jalan ini tidak memiliki tikungan patah maupun tikungan ganda sehingga risiko terguling, terbanting atau oversteer/understeer dapat dihindari. Dengan demikian, resiko terpaparnya kendaraan karena terpengaruh geometrik jalan sangat kecil.
Meski demikian, Wildan menekankan desain perambuan dan marka jalan masih mengakomodasi untuk kepentingan lalu-lintas lokal dengan kecepatan rendah. Misalnya, adanya pita penggaduh pada badan jalan, tingginya bukaan median, hingga tingginya akses jalan minor ke jalan utama. KNKT juga mencermati keberadaan rambu yang bercampur dengan iklan atau reklame di sepanjang jalan.
Tercampurnya reklame iklan dan rambu di Jalan Transyogi ini dianggap dapat mengganggu pengemudi. Pengemudi bahkan dpat mengabaikan informasi yang disampaikan oleh rambu dimaksud karena terlalu banyak informasi yang diterima oleh pengemudi di sisi jalan. Kondisi ini merupakan hazard dan bisa menurunkan kewaspadaan pengemudi dan bahaya lainnya.