Bisnis.com, JAKARTA - Memasuki Bulan Inklusi Keuangan yang diselenggarakan pada Oktober 2022, refleksi terhadap percepatan akses keuangan dalam beberapa tahun terakhir perlu dijadikan pembelajaran.
Hadirnya digitalisasi merupakan suntikan booster inklusi keuangan di berbagai lapisan masyarakat dalam waktu singkat. Selama pandemi, perubahan pola perilaku konsumen dalam berbelanja merubah cara transaksi. Tidak hanya sisi konsumen, adaptasi digital membuat operasional pelaku usaha skala besar hingga mikro pun ikut berubah.
Digitalisasi yang merambah UKM menciptakan model layanan baru yang efektif sekaligus efisien, transaksi dengan pembeli maupun pemasok bisa dilakukan kapan pun. Ekosistem digital turut membantu UKM menemukan cara transaksi paling cepat sekaligus murah, dibanding transaksi menggunakan sistem cash keras.
Efeknya dorongan UKM masuk ke dalam platform digital tumbuh 131% selama masa pandemi, meski proporsi terbilang kecil baru mencapai 25% dari total 65 juta unit usaha.
Terobosan menarik dilakukan oleh salah satu platform digital, yakni GudangAda yang menawarkan percepatan mengedukasi mitra UKM mengenai pentingnya penguasaan keterampilan manajemen toko sekaligus pengenalan pada metode transaksi keuangan yang relevan.
GudangAda merupakan platform e-commerce B2B (business to business) bagi produsen, pedagang grosir, dan pedagang eceran terutama di segmen tradisional. Sebagai kategori yang sering disebut sebagai late adopter dalam digitalisasi, pelaku usaha tradisional sebenarnya mendominasi pasar ritel Indonesia. Berdasarkan data USDA tahun 2021, nilai penjualan grosir ritel pasar tradisional di Indonesia mencapai US$53,59 miliar atau 74,8% dari total penjualan.
Baca Juga
Kategori pasar tradisional termasuk warung kelontong. Sementara minimarket modern hanya mencapai 12,8% dan supermarket 4% dari total transaksi ritel tanah air. Kekuatan pelaku usaha tradisional tidak bisa dianggap sebelah mata. Dari sisi capaian tenaga kerja, tentu cukup besar, dan perputaran ekonomi di dalamnya cukup berdampak terhadap berbagai sektor usaha lainnya.
Oleh karena itu, berkejaran dengan waktu, pelaku usaha tradisional perlu menjadi garda terdepan dari pengembangan inklusi keuangan. Makin besar adaptasi pelaku pasar tradisional dan warung kelontong dalam menggunakan digital payment, maka selanjutnya mereka dapat memanfaatkan fitur lain seperti pinjaman melalui platform.
Kelebihan platform grosir dalam mendorong inklusi keuangan adalah model bisnis yang terintegrasi antar pemain. Sebagai contoh pelaku usaha tradisional melakukan integrasi seluruh rantai pasok sehingga memudahkan antarpelaku usaha untuk terhubung, pelaku grosir dengan ritel.
Bentuk intermediasi tersebut mirip seperti Taobao Village yang ada di China, di mana platform digital membantu pelaku usaha saling terhubung di sepanjang rantai pasok. Keberhasilan Taobao Village mampu mentransformasi model bisnis dari tingkat usaha yang paling mikro, dan menghasilkan dampak ekonomi dan sosial yang positif.
Kini, platform lokapasar Taobao, yang merupakan bagian dari lini usaha Alibaba, telah memfasilitasi ribuan desa untuk berniaga secara digital.
Melihat contoh keberhasilan Taobao Village, keberadaan platform seperti GudangAda juga berimplikasi pada gagasan digitalisasi secara inklusif, menyasar kelompok yang selama ini dianggap belum sepenuhnya merasakan manfaat dari inovasi teknologi.
Untuk mendukung percepatan inklusi keuangan melalui pendekatan platform digital yang menyasar pelaku UKM, disarankan kepada pemerintah menyusun roadmap kerja sama keterampilan dan inklusi digital secara jangka panjang.
Pertama, bentuk roadmap dapat memasukkan pertukaran konten edukasi antara pemerintah dengan platform. Contohnya, selain kementerian membuat konten di kanal-kanal yang resmi seperti website, sosial media, bisa dilengkapi dengan kerja sama konten di platform aplikasi. Tujuannya, terjadi efektivitas dalam sosialisasi konten edukasi ketrampilan digital terutama dalam bidang keuangan.
Kedua, pendekatan ke warung dan pasar tradisional perlu terus dilakukan. Memang masih ada kendala terkait akses infrastruktur internet, hingga generation gap dimana pemilik usaha tradisional sebagian masuk generasi baby boomers dan gen X sehingga adaptasi digital lebih lambat.
Namun, peran pemerintah dan pelaku industri digital dapat memberi pendampingan secara terstruktur dan berkala sampai sasaran edukasi bisa memahami cara kerja platform untuk membantu usahanya.
Sebagai penutup, pelaku UKM sebagai vanguard atau garda pelopor dari inklusi keuangan perlu mendapat dukungan dan kolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan. Alhasil, makin besar UKM melangkah ke arah digital, inklusi keuangan bisa makin berkualitas.