Bisnis.com, JAKARTA - Komisaris Perekonomian Uni Eropa Paolo Gentiloni memperingatkan tidak semua negara di blok ini berhasil mengatasi pertentangan antara kebijakan fiskal dan moneter.
Dilansir dari Bloomberg pada Jumat (14/10/2022) Gentiloni mengatakan meskipun dukungan pemerintah untuk rumah tangga dan perusahaan diperlukan, tetapi hal itu bersifat sementara dan hanya bertujuan untuk menhindari lonjakan inflasi.
"Saya tidak berpikir semua tindakan yang diambil mengarah ke arah ini, jadi kami harus melakukan upaya lebih lanjut,” kata Gentiloni.
Menurutnya, jika pemerintah memberi kesan kepada warga bahwa dapat dukungan terhadap setiap kegiatan dapat dilakukan, langkah tersebut adalah keputusan yang salah.
Dia menjelaskan UE tidak dapat mengulangi langkah yang diambil selama pandemi dengan menggelontorkan surat utang bersama dalam skala besar untuk berinvestasi guna meningkatkan dan membangun kembali ekonomi mereka.
Namun, dia mengatakan beberapa jenis alat kebijakan umum diperlukan untuk membantu menjembatani kesenjangan antara negara-negara yang menderita tekanan inflasi yang berbeda.
Baca Juga
IMF tengah mengadakan pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara anggota G20 di New York, AS
Bahkan setelah gejolak ekonomi dan geopolitik tahun ini tahun ini, seperti lonjakan inflasi, perang di Ukraina, perlambatan China, Bloomberg Economics memperkirakan tahun depan bisa lebih buruk lagi.
IMF pada hari Selasa memangkas proyeksi pertumbuhan global pada tahun 2023 dan mengatakan kebijakan untuk menjinakkan inflasi yang tinggi dapat menambah risiko bagi ekonomi global. Bahkan Presiden Joe Biden mengatakan pekan bahwa AS mungkin mengalami resesi kecil.
Gubernur Bank Sentral Kenya Patrick Njoroge mengatakan pasar negara berkembang telah menjadi kerusakan jaminan dalam siklus kenaikan suku bunga agresif negara-negara maju, dan kegagalan untuk mempertimbangkan dan mengatasi efek limpahan akan memiliki konsekuensi limpahan yang mahal.
Sementara itu, Gubernur Bank Sentral Kenya Patrick Njoroge mengatakan negara-negara berkembang telah menjadi korban dari siklus kenaikan suku bunga agresif negara-negara maju, dan kegagalan untuk menahan dan mengatasi efek tersebut akan memiliki konsekuensi yang besar.
"Sangat sulit untuk negara berkembang. Dikucilkan dari pasar modal karena tindakan orang lain berarti negara (berkembang) menjadi korban tak bersalah,” pungkasnya.