Bisnis.com, JAKARTA - Di tengah situasi ketidakpastian global yang kian meningkat, optimisme tetap harus dijaga. Demikian pernyataan Presiden Joko Widodo saat memberikan pengarahan kepada seluruh menteri, kepala lembaga, kepala daerah, pimpinan BUMN, Pangdam, Kapolda dan Kajari di JCC, Jakarta beberapa waktu lalu.
Diakui Presiden Jokowi bahwa tahun ini situasi sedang sulit dan bahkan tahun depan akan gelap seiring makin tingginya ketidakpastian global. Namun, Presiden tetap optimis momentum pemulihan ekonomi nasional dapat terus berlanjut karena kondisi ekonomi Indonesia yang baik.
Sikap optimis yang diperlihatkan Presiden bukan tanpa dasar. Realisasi pendapatan negara hingga akhir Agustus 2022 tercatat mencapai Rp1.764 triliun, tumbuh 49% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Indonesia tercatat mencapai pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2020 sebesar 5,44% (year-on-year/YoY)—tertinggi di antaranegara dan kawasan anggota forum G20 yang mengindikasikan pemulihan di Tanah Air masih berjalan on the track.
Menurut laporan perusahaan keuangan Amerika Serikat, Bloomberg, Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu dari 15 negara yang berpotensi mengalami resesi, seperti Sri Lanka, Selandia Baru, Korea Selatan, China, Pakistan, dan lain-lain. Dibandingkan dengan sejumlah negara lain, kondisi ekonomi Indonesia sesungguhnya masih lebih baik.
Menurut data yang dipaparkan Bank Indonesia, pendapatan negara hingga saat ini dilaporkan masih sesuai espektasi. Penerimaan pajak dilaporkan berhasil mencapai Rp1.171 triliun atau bertumbuh 58%. Penerimaan bea dan cukai tercatat melonjak hingga 30,5% hingga mencapai Rp206 triliun. Kemudian realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dilaporkan juga tumbuh tumbuh 38,9%, yakni sebesar Rp386 triliun.
Di luar soal penerimaan negara, optimisme konsumen dilaporkan juga tinggi karena Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) tercatat sebesar 124,7. Kredit perbankan juga telah tumbuh hingga 10,7%. Di sisi lain, neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus dalam 28 bulan berturut-turut yakni sebesar 5,7 miliar dolar AS.
Baca Juga
Selama tahun 2022, investasi dilaporkan masih menggembirakan. Konsumsi masyarakat, termasuk pinjaman KPR dan Multi Guna dilaporkan juga meningkat signifikan. Walaupun ancaman resesi global akan tetap berdampak bagi kondisi ekonomi nasional. Namun, efeknya niscaya akan dapat dikurangi jika Indonesia siap mengantisipasi dan memiliki modal sosial yang kuat.
Berbeda dengan sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Inggris yang mengalami inflasi sangat tinggi, Indonesia angka inflasi masih dalam batas bisa ditoleransi. Secara tahunan, inflasi IHK Juli 2022 tercatat 4,94% (YoY), lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 4,35% (YoY). Untuk keseluruhan tahun 2022, inflasi IHK diprakirakan memang lebih tinggi dari batas atas sasaran, meskipun demikian diperkirakan akan kembali ke dalam sasaran 3,0±1% pada tahun 2023.
Bank Indonesia sebagai lembaga bank sentral tentu akan terus mewaspadai risiko kenaikan ekspektasi inflasi dan inflasi inti ke depan, serta bagaimana memperkuat respons bauran kebijakan moneter yang diperlukan.
PERLU ANTISIPASI
Menangani ancaman resesi global tidaklah mungkin dilakukan hanya mengandalkan kebijakan yang sifatnya reaktif dan instan. Dengan mengandalkan kekuatan APBN yang ketiban durian runtuh akibat kenaikan harga komoditas di pasar global, memang APBN akan dapat berfungsi sebagai shock absorber tetapi, memasuki tahun 2023 sekadar hanya mengandalkan kekuatan APBN tentu tidak mungkin lagi dilakukan.
Akibat penurunan nilai tukar rupiah, inflasi dan stagflasi (kondisi inflasi dan kontraksi terjadi secara bersamaan) bisa dipastikan angka pengangguran di Indonesia ke depan akan meningkat, PHK meluas, dan angka kemiskinan pun kembali naik. Untuk memastikan agar berbagai dampak resesi global ini tidak meluas, maka ada banyak hal yang perlu dipersiapkan.
Ancaman yang perlu diantisipasi Indonesia pada 2023 adalah perlambatan tajam dalam pertumbuhan global, yang berpotensi menjerumuskan Indonesia masuk dalam pusaran resesi global.
Dari hasil diskusi yang diinisiasi Bank Indonesia di Bali awal Oktober 2022 lalu, beberapa hal yang menjadi tantangan utama Indonesia menghadapi resesi global, antara lain adalah soal harga pupuk dan harga energi yang cenderung meningkat tajam, kenaikan suku bunga acuan, credit spread, depresiasi mata uang, hingga ancaman terjadinya arus keluar modal (capital outflow) yang akan menyebabkan investasi menurun tajam.
Hanya dengan kerja sama yang solid dan sikap optimisme yang kuatlah, ancaman dan dampak resesi global akan dapat diantisipasi. Saat ini, sikap pasrah yang hanya menyerah pada nasib jelas bukan sikap yang bijak. Kekhawatiran terjerumus dalam resesi jika terus digulirkan, niscaya malah akan benar-benar terjadi. Sebaliknya jika kita sejak awal optimis dan terus berikhtiar untuk mengatasi ancaman resesi global, maka bukan tidak mungkin pemulihan ekonomi akan dapat diwujudkan.