Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai bahwa perdebatan mengenai sebutan dirinya sebagai ratu utang bukan merupakan perbincangan yang menarik karena minim substansi. Dia lebih menerima perdebatan yang berbasis data.
Hal tersebut disampaikan Sri Mulyani dalam Indonesia Economic Outlook (IEO) Forum 2023. Dia membahas berbagai hal, mulai dari dapur penyusunan kebijakan fiskal selama pandemi Covid-19, perbandingan kondisi Indonesia dengan negara-negara lain, hingga isu-isu ekonomi terkini.
Sebagaimana diketahui, Sri Mulyani ramai disebut sebagai ratu utang sejak 2019. Sebutan itu muncul dari cuitan mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli karena menilai Menkeu bertanggung jawab atas meningkatnya utang pemerintah pada 2018–2019.
Sri Mulyani kemudian menyebut bahwa saat ini menjadi momentum yang sangat menarik bagi mahasiswa ekonomi dan pihak-pihak yang bekerja di bidang perekonomian. Mereka dapat menguji berbagai teori dengan kondisi ekonomi yang sangat sulit akibat pandemi Covid-19 dan imbas dari konflik geopolitik di Eropa Timur.
Dialektika itu menurutnya layak menjadi perdebatan apabila berdasarkan perhitungan yang matang dan asumsi yang kuat. Menurut Sri Mulyani, jangan sampai debat yang muncul malah berdasarkan sentimen atau karena faktor-faktor lain.
"Membahas interpretasi data, itu debat yang menyenangkan banget. Karena debat yang tidak menyenangkan itu cuma bilang ah kamu bego, ah kamu kadrun, ah kamu cebong. Oh, Sri Mulyani ratu utang. Kayak gitu-gitu bukan debat, tetapi stigma," ujar Sri Mulyani, Senin (3/10/2022).
Baca Juga
Dia menjelaskan bahwa kritik bagi pihaknya, maupun pemerintah secara umum merupakan hal yang baik, asalkan memiliki landasan analisis dan fakta yang kuat. Menurutnya, Kemenkeu selalu terbuka terhadap masukan dari berbagai pihak, terutama di saat kondisi ekonomi sulit.
Sri Mulyani pun menyebut bahwa pada masa awal pandemi Covid-19, Kemenkeu meminta pandangan berbagai pihak dalam menyusun kebijakan perekonomian, mulai dari epidemiolog, pihak Kementerian Kesehatan, dan para ekonom. Tujuannya, agar terdapat masukan yang konstruktif bagi penyusunan kebijakan.
Sementara itu, utang pemerintah mencapai Rp7.236,6 triliun pada Agustus 2022, naik Rp73 triliun dibandingkan periode Juli 2022 sebesar Rp7.163 triliun.
Dengan total utang pemerintah tersebut, maka rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) atau debt to GDP per Agustus 2022 terkerek menjadi 38,3 persen, naik dibandingkan bulan lalu, yakni sebesar 37,9 persen. Kendati demikian, mengacu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, rasio tersebut masih jauh di bawah batas atas.
Utang pemerintah per Agustus 2022 dibagi menjadi dua jenis, yakni surat berharga negara (SBN) sebesar Rp6.425,5 triliun atau 88,7 persen dan pinjaman sebesar Rp811,7 triliun atau 11,2 persen.
Lebih lanjut, utang dari SBN domestik yang tercatat sebesar Rp5.126,5 triliun dibagi menjadi dua, yaitu surat utang negara (SUN) Rp4.195 triliun dan surat berharga syariah negara (SBSN) Rp931 triliun. Adapun, utang SBN dalam bentuk valas tercatat sebesar Rp1.299 triliun, yaitu SUN Rp972 triliun dan SBSN Rp326 triliun.
Sementara itu, untuk total pinjaman hingga 31 Agustus 2022 tercatat sebesar Rp811,7 triliun yang dibagi menjadi beberapa jenis, antara lain pinjaman dalam negeri Rp15,92 triliun dan pinjaman luar negeri Rp795 triliun.