Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani serta sejumlah lembaga internasional mulai dari Bank Dunia (World Bank), Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), hingga Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) telah memperingatkan risiko terjadi krisis keuangan serta resesi global pada 2023.
Meski pandemi Covid-19 sudah mereda, meletusnya perang Rusia vs Ukraina telah menyebabkan ekonomi di sejumlah negara dengan ekonomi terbesar seperti Amerika Serikat, China, dan kawasan Eropa melambat.
Kondisi tersebut kemudian memaksa bank sentral di dunia serentak menaikkan suku bunga, sebagai respon terhadap tingginya inflasi yang memicu terjadinya resesi. Yang paling baru, bank sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuan sebanyak 75 basis poin (bps) menjadi 3,25 persen.
Peringatan Sri Mulyani, Bank Dunia, IMF hingga ADB soal resesi 2023
Lantas, bagaimana proyeksi ekonomi dunia dan risiko resesi yang akan muncul pada 2023? Simak peringatan Sri Mulyani, Bank Dunia, IMF hingga ADB soal resesi ekonomi global 2023.
1. Menteri Keuangan Sri Mulyani
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam berbagai kesempatan turut menyinggung soal resesi yang diperkirakan terjadi pada 2023. Dia menilai kondisi saat ini dapat dipastikan memberikan dampak bagi pertumbuhan ekonomi, termasuk di Indonesia.
“Bank Dunia menyampaikan, kalau bank sentral di seluruh dunia melakukan peningkatan suku bunga secara cukup ekstrim dan secara bersama-sama, maka dunia akan mengalami resesi pada 2023,” katanya dalam konferensi pers APBN Kita, Senin (26/9/2022).
Baca Juga
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 sebesar 5,3 persen Menurutnya, proyeksi tersebut cukup realistis dengan mempertimbangkan dinamika pemulihan dan reformasi struktural untuk mendorong kinerja perekonomian yang lebih akseleratif.
“Kinerja ekonomi pada 2023 terutama akan ditopang oleh pulihnya konsumsi masyarakat, investasi, dan perdagangan internasional," katanya dalam Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (29/9/2022).
2. Bank Dunia (World Bank)
Bank Dunia melalui studinya menyampaikan pertumbuhan ekonomi pada tahun depan bakal dihantui resesi global dan krisis keuangan khususnya negara berkembang pada 2023. Hal tersebut, dipicu oleh langkah bank sentral yang secara serentak melakukan pengetatan kebijakan moneter sebagai respon terhadap inflasi.
Presiden Grup Bank Dunia David Malpass menilai bahwa kebijakan yang sinkron di banyak negara justru dapat memperparah dan memperketat kondisi keuangan, bahkan mempertajam perlambatan pertumbuhan ekonomi global.
Pertumbuhan ekonomi global yang melambat tajam kemungkinan akan berlanjut lantaran lebih banyak negara jatuh ke dalam resesi.
"Kekhawatiran mendalam saya adalah bahwa tren ini akan bertahan, dengan konsekuensi jangka panjang yang menghancurkan orang-orang di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang," ujar David Malpass.
3. IMF
Di lain sisi, IMF dalam outlook terbarunya pada Juli lalu menyebutkan dunia semakin mendekati jurang resesi. IMF bahkan merevisi kebawah pertumbuhan ekonomi dunia 0,4 poin menjadi 3,2 persen pada tahun ini.
“Dunia mungkin saat ini berada di tepi resesi, hanya dua tahun setelah [resesi] yang terakhir kali,” ungkap Kepala Ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas.
4. ADB
ADB turut menurunkan proyeksinya untuk negara berkembang di Asia. Dalam laporan terbarunya, ADB menurunkan proyeksi pertumbuhan dari 5,2 persen menjadi 4,3 persen pada 2022 dan 4,9 persen pada 2023, setelah sebelumnya diprediksi berada di 5,3 persen. Kendati demikian, perkiraan tersebut tidak berlaku untuk China.
Untuk pertama kalinya dalam 3 dekade lebih, negara berkembang di Asia akan tumbuh lebih cepat dari China.
“Tidak termasuk China, negara berkembang lainnya di Asia diproyeksikan tumbuh sebesar 5,3 persen pada tahun 2022 dan pada tahun 2023,” dikutip dari laporan ADO 2022.
Kendati demikian, risiko terhadap outlook masih tetap tinggi. Pasalnya, perlambatan tajam dalam pertumbuhan global menyebabkan permintaan untuk ekspor Asia yang sedang berkembang melemah dan pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif dari negara maju dapat mengakibatkan depresiasi nilai tukar, ketidakstabilan keuangan, dan kesulitan neraca pembayaran di negara-negara dengan fundamental yang rentan.
“Eskalasi perang Rusia vs Ukraina dan dampaknya di pasar komoditas global akan semakin meningkatkan tekanan inflasi dan memperlambat pertumbuhan,” tulis ADB.