Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan bakal tetap membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Batu Bara baru yang telah ditetapkan di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030. Langkah itu dilakukan untuk menjaga pasokan listrik domestik di tengah momentum pemulihan ekonomi saat ini.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan kementeriannya bakal melanjutkan kembali pembangunan PLTU Batu Bara sebagai tindaklanjut dari megaproyek 35.000 megawatt (MW) hingga 2028 mendatang.
“Pembangunan 35.000 MW yang diluncurkan di awal 2015 itu masih proses konstruksi 11,3 GW, yang belum konstruksi 2,5 GW dan itu yang terus kita pantau, yang belum konstruksi sedang dilihat apakah dilanjutkan atau tidak,” kata Dadan dalam acara Energy Corner CNBC, Senin (19/9/2022).
Dadan memastikan pembangunan PLTU Batu Bara baru yang tertuang dalam RUPTL akan tetap dikerjakan dan ditarget beroperasi hingga 2050 mendatang. Dia mengatakan, PLTU Batu Bara itu juga nantinya bakal menjaga keekonomian dari kawasan industri strategis yang telat ditetapkan pemerintah.
“PLTU tidak hanya ada di jaringan PLN tetapi ada PLTU-PLTU yang digunakan untuk industri itu yang akan terus berjalan,” kata dia.
Di sisi lain, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN tengah mendorong penghentian operasi PLTU berkapasitas 5,5 GW sebelum 2030 sebagai langkah awal perseroan memberi ruang untuk investasi hijau masuk ke sistem kelistrikan nasional. Manuver itu diperkirakan menelan investasi sebesar US$6 miliar atau setara dengan Rp89,3 triliun, kurs Rp14.890. Kebijakan itu juga diambil untuk mengatasi masalah kelebihan pasokan listrik yang andil pada sejumlah sikap mendua PLN pada inisiatif hijau yang dimulai swasta.
Baca Juga
Hanya saja program penghentian PLTU seluruhnya hingga 2050 diproyeksikan bakal sulit dilakukan. Center for Global Sustainability University of Maryland memperkirakan kebutuhan dana yang perlu diamankan PLN mencapai US$32,1 miliar atau setara dengan Rp475,4 triliun, asumsi kurs Rp14.810. Di sisi lain, PLN mesti menaikkan kapasitas serta ekosistem pembangkit EBT dengan nilai investasi menyentuh US$1,2 triliun atau setara dengan Rp17.772 triliun hingga 2050 mendatang.
“Ini bukan biaya yang kecil kita harus lihat kemampuan fiskal Indonesia seberapa jauh untuk menyerap ini. Siapa yang seharusnya mendanai ini apakah filantropi, multilateral, bilateral atau swasta tertarik untuk ikut masuk,” kata Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PLN Sinthya Roesly.
Hanya saja, Sinthya menuturkan, pendanaan internasional dan perbankan untuk akselerasi penghentian operasi PLTU di Indonesia relatif sulit dilakukan saat ini. Menurut dia, pemberi pinjaman masih berhati-hati untuk ikut mendanai program pensiun dini PLTU lantaran sentimen pembiayaan hijau saat ini.
Misalkan, dia mencontohkan, perseroan sempat melakukan penjajakan kerja sama untuk pendanaan penghentian operasi PLTU pada sejumlah bank dan pihak swasta di Jepang dan Korea Selatan belum lama ini. Akan tetapi, pihak swasta dan perbankan di dua negara itu masih mengkaji kembali potensi pendanaan pada program PLN tersebut.
“Karena ini akan bicara memindahkan portofolio batu bara di PLN ke balance mereka. Seperti apa mekanisme dari perlakuan atas karbonnya ini sehingga transisi energi ini ada,” kata Sinthya.
Portofolio PLN hingga paruh pertama tahun ini menunjukkan arah pembangunan perusahaan listrik setrum pelat merah itu masih berfokus pada pengerjaan sejumlah program warisan pembangkit berbasis fosil tersebut. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, yang beberapa kali diklaim agenda kerja paling hijau milik PLN, justru terang-terangan menambah 19,6 GW energi fosil atau 48,4 persen dari target tambahan pembangkit ke depan.
Lewat RUPTL serta laporan keuangan konsolidasian yang tengah berjalan, pemerintah tetap memutuskan pembangunan 25 proyek PLTU baru berskala kecil yang statusnya merupakan proyek-proyek terkendala.