Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai bahwa harga pangan menjadi kunci untuk mengendalikan inflasi, agar pada akhir 2022 tingkat inflasi bisa berada di bawah 5 persen sesuai permintaan Presiden Joko Widodo.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa hingga Agustus 2022, komponen pangan menjadi pendorong utama inflasi hingga mencapai 4,69 persen. Laju inflasi pangan per Agustus 2022 telah melampaui 11 persen, kemudian pada September 2022 sedikit mereda ke 8,6 persen.
Dia menilai bahwa pengendalian harga pangan menjadi sangat krusial untuk menjaga inflasi tidak terus naik. Oleh karena itu, pemerintah pusat mendorong pemerintah daerah (pemda) untuk terus melakukan pengendalian harga pangan di wilayahnya masing-masing.
"Kalau tim pengelola dan pemantau inflasi daerah bekerja menjaga harga makanan yang diproduksi dalam negeri bisa, maka inflasi kontribusi dari unsur makanan bisa lebih rendah," ujar Sri Mulyani di kompleks Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta pada Rabu (14/9/2022).
Presiden berulang kali memanggil para menteri dan kepala daerah untuk melakukan rapat pengendalian inflasi, seiring terus meningkatnya inflasi pada tahun berjalan. Dalam berbagai rapat, pengendalian inflasi dari komponen pangan memang terus menjadi sorotan.
Selain itu, menurut Sri Mulyani terdapat risiko lonjakan inflasi harga yang diatur pemerintah (administered price) akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Pemerintah terlebih dahulu menaikkan harga BBM non subsidi, hingga pada awal September 2022 harga BBM bersubsidi ikut naik.
Baca Juga
"Kemarin karena penyesuaian harga pertalite dan solar menyebabkan kontribusi [administered price] akan meningkat," katanya.
Pemerintah pun intens berkomunikasi dengan Bank Indonesia dalam menangani inflasi inti, terutama ketika laju permintaan lebih tinggi dari produksi. Hal tersebut mendorong terjadinya supply push inflation atau inflasi yang berasal dari tingginya permintaan.
"Maka Bank Indonesia memang fokusnya pada core inflation . . . Itu kalau demand lari lebih cepat, maka Bank Indonesia bereaksi dengan menggunakan kebijakan moneter mereka, seperti suku bunga, menggunakan makro produsensial, giro wajib minimum [GWM], dan lain-lain," ujar Sri Mulyani.