Bisnis.com, JAKARTA – Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia berpotensi terkontraksi meninggalkan zona ekspansi jika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan kontraksi PMI manufaktur Indonesia bisa menyentuh level 49 pada Oktober hingga akhir 2022 jika kenaikan BBM yang disinyalir sebesar 30 persen terealisasi.
"PMI manufaktur bisa terkontraksi sampai ke level 49. Tapi tidak langsung pada September, melainkan bulan-bulan setelahnya," kata Faisal kepada Bisnis, Kamis (1/9/2022).
Dengan asumsi kenaikan BBM di atas, sambungnya, sinyal awal pelemahan kinerja manufaktur nasional akan mulai terlihat pada September mendatang, meskipun PMI manufaktur masih berada di angka 50.
Faisal menjelaskan terdapat dua faktor yang mendorong terjadinya kontraksi kinerja manufaktur. Pertama, turunnya permintaan domestik yang notabene merupakan kontributor terbesar terhadap manufaktur.
"Terutama untuk basic needs seperti produk-produk kesehatan, makanan dan minuman [mamin], dan termasuk produk tekstil," ujarnya.
Baca Juga
Kedua, kenaikan harga BBM dinilai bakal menambah beban industri manufaktur yang dipastikan berhadapan dengan persoalan naiknya ongkos produksi, baik karena penggunaan BBM untuk operasi mesin maupun transportasi dan logistik.
Faisal berharap pemerintah tidak menaikkan harga dan bahkan menambah subsidi BBM. Sebab, anjurnya, industri manufaktur tidak memiliki banyak pilihan untuk mengurangi dampak kenaikkan BBM.
"Sebab, insentif pun dinilai tidak akan memberikan efek signifikan kepada kinerja manufaktur. Pemerintah tidak punya banyak pilihan untuk menjaga performa PMI ke depannya jika BBM naik," ujarnya.
Sebagai informasi, PMI Manufaktur Indonesia pada Agustus 2022 menguat ke level 51,7, naik dari 51,3 pada bulan sebelumnya.
Berdasarkan laporan terbaru S&P Global, indeks PMI Manufaktur Indonesia pada Agustus menguat mengalahkan beberapa negara Asia seperti Korea Selatan dan Jepang.
"PMI Manufaktur Indonesia menguat di tengah menurunnya indeks di negara-negara Asia lain, seperti Korea Selatan [49,8 di Juli 2022 menjadi 47,6] dan Jepang [52,1 pada Juli 2022 menjadi 51,5]," tulis laporan tersebut seperti dikutip Bisnis, Kamis (1/9/2022).
Menjaga performa apik tersebut, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan bakal terus memacu konsumsi domestik dengan memastikan serapan produk industri dalam negeri.