Bisnis.com, JAKARTA – Kelompok Dialog Bisnis 20 (B20) Task Force Trade and Investment yang berkolaborasi dengan Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) menyelenggarakan kegiatan Side Event Webinar secara online dengan tema “Technology and Market Innovation For Decarbonization” pada Jumat (26/8/2022). Tujuan penyelenggaraan kegiatan webinar ini adalah untuk memberikan gambaran bagaimana dunia industri merespon isu global perubahan iklim, dengan cara melakukan inovasi berbasis teknologi dan digitalisasi.
Terdapat tiga perusahaan start-up yang dihadirkan dalam webinar kali ini. Masing-masing menjelaskan bagaimana model bisnis yang dijalankan mendukung proses dekarbonisasi yang mampu memberi pengaruhi terhadap perubahan iklim. Ketiga perusahaan tersebut adalah Xurya Daya Indonesia yang bergerak di bidang renewable energy; Carbon Ethics yang melakukan bisnis berbasis nature based solution; serta Octopus Indonesia yang menjalankan bisnis di bidang waste management.
Dalam pembukaannya, Martin Santoso selaku Associate Partner leading sustainability work in Indonesia, McKinsey Company menjelaskan bahwa saat ini inovasi memainkan peran kunci dalam pembangunan ekoonomi, sehingga dapat dipadukan dengan isu global perubahan iklim dan keberlanjutan. Adalah menjadi kewajiban para pebisnis untuk beradaptasi dan melakukan inovasi dalam teknologi serta melakukan perubahan model bisnis. Salah satunya dengan melakukan transisi dekarbonisasi yakni proses mengecilkan atau membuat hilang semua emisi karbon, dengan tujuan untuk mencapai titik terendah emisi.
Permasalahannya, pengurangan emisi di banyak model bisnis sangat bergantung pada teknologi dimana tidak semua pelaku pasar siap menjalankannya. Namun dengan digitalisasi, sangat berpotensi menukung dekarbonisasi di seluruh lini ekonomi, dari transportasi, pertanian, manufaktur hingga pengelolaan limbah. Bisnis yang mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan cepat, akan dapat memanfaatkan peluang pertumbuhan ini karena peningkatan upaya dalam teknologi dan pasar rendah karbon indonesia adalah komponen inti dari dekarbonisasi.
Menurut Martin, pihaknya aktif membantu klien untuk melakukan dekarbonisasi di lebih dari 50 negara. Terdapat 5 strategi bisnis utama yang direkomendasikan McKinsey kepada klien untuk melaksanakan dekarbonisasi. Pertama Net Zero and Environmental, Social and Governance (ESG) Strategy, yakni pengembangan dari net zero emission dan strategi untuk melihat potensi dekarbonisasi dari perusahan dan penyusunan peta jalan untuk implementasi. Kedua, Green Business Building, yakni penyusunan ekosistem bisnis baru yang mampu memberikan peluang berbasis dukungan terhadap lingkungan.
Ketiga, Decarbonization Transformation, yakni bagaimana strategi mengurangi emisi, baik dari bisnis utama maupun turunannya (upstream dan downstream) serta melihat potensi resiko dari perusahaan dengan cara pembuatan ESG strategy dan melihat inisiatif kongkrit untuk meningkatkan komunikasi perusahaan dengan pasar modal. Keempat, Sustainability in Financial Institutions yaitu melihat potensi inovasi produk dan servis dari lembaga keuangan misalnya penerbitan green bond. Kelima, Sustainability Investing yaitu bagaimana melakukan eksekusi dari green bond atau dari segi equity dari bisnis yang bekelanjutan.
Pada praktiknya, model bisnis berbasis dekarbonisasi ini tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan namun juga mampu memberikan manfaat keekonomian bagi perusahaan. Hal ini disampaikan oleh Eka Himawan selaku CEO Founder Xurya Daya Indonesia, yang aktif mendistribusikan dan memasarkan rooftop solar panel sebagai sumber energi alternatif.
Menurutnya, terdapat pertumbuhan yang sangat signifikasn dari penggunaan rooftop solar panel yakni
372 pengguna di tahun 2018, hingga tahun 2022 mencapai 1061 pelanggan. “Terdapat kenaikan penggunaan sebesar 1360 persen sepanjang 2018 hingga 2022,” katanya. Eka menjelaskan, banyak manfaat besar bagi lingkungan antara lain: Produksi energi ramah lingkungan sebesar lebih dari 42 juta kwh; pengurangan emisi karbon sebanyak hampir 40 kg; penciptaan lapangan kerja untuk 726 pencari kerja; setara dengan penanaman hampir 515 pohon dan mampu memberikan aliran listrik pada hampir 30 ribu rumah.
Senada dengan penjelasan Eka, juga disampaikan oleh Jessica Novia Co-Founder Chief Marketing Officer (CMO) Carbon Ethics. Perusahaan yang didirikannya ini berfokus pada edukasi da pemberdayaan masyarakat untuk pengurangan emisi karbon demi menjaga jumlah blue carbon yakni jumlah karbon yang diserap ekosistem di laut. Hal ini penting dilakukan sebab Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia sehingga memiliki persediaan blue carbon terbanyak secara global dari mangrove dan sea grass (lamun). Namun di sisi lain, Indonesia juga memiliki tingkat deforestasi tercepat di dunia. “Karena itu, sangat penting bagi kita menjaga tingkat blue carbon yang kita miliki supaya berkelanjutan, dengan cara mengedukasi para stakeholder baik perusahaan, pemerintah maupun masyarakat,” kata Jessica.
Menurut Jessica, terdapat empat strategi yang dijalankan oleh perusahaannya dalam menjaga keberadaan blue carbon di wilayah perairan Indonesia. Pertama, Education and Carbon Calculation, dimana di tahap ini pihaknya memberikan edukasi, trip ke wilayah konservasi, melakukan penghitungan carbon footprint dan melaporkan ke perusahaan. Kedua, Carbon Offset, yakni mengajak perusahaan untuk berpartisipasi dalam kegiatan berbasis komunitas yang dapat memberi dampak positif pada lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat. Ketiga, Sustainable Gifting yakni memberikan apresiasi atau hadiah kepada pihak-pihak yang mampu berkontribusi terhadap penurunan emisi karbon. Tujuannya untuk menciptakan budaya berkelanjutan di masyarakat. Keempat, Tech Enablement yakni penyusunan carbon calculator widget sebagai sarana untuk menghitung jumlah carbon offset.
Hingga saat ini, telah banyak organisasi dan perusahaan yang bergabung dalam kegiatan Carbon Ethics dalam berbagai bentuk. Jessica mencontohkan, kegiatan marketing campaign Garnier-L’Oreal, kegiatan employee outing bersama Allianz dan kegiatan carbon calculation and offsetting bersama Forum Dialog Youth20. Dengan banyak bekerjasama dengan berbagai lembaga, lanjut Jessica, pihaknya percaya akan mampu membantu petani mangrove yang hidup dalam garis kemiskinan. “Dengan adanya konservasi institusi bisnis dalam carbon offset dan carbon footprint, bisa menaikkan taraf hidup masyarakat lokal,” katanya lagi.
Memberikan manfaat bagi masyarakat juga menjadi salah satu tujuan Octopus Indonesia, yang bergerak di manajemen limbah. Menurut Rizki Mardian Chief of Data Research Octopus Indonesia, pihaknya merupakan platform digital untuk bisnis penjualan limbah atau sampah. “Ada misi ekonomi yang dilakukan berbasis potensi bisnis yang ada, juga ada misi sosial untuk meningkatkan kehidupan para pemulung,” katanya.
Pemulung, yang diistilahkan dalam bisnis ini sebagai Pelestari, merupakan aspek utama dalam bisnis yang dijalankan. Melalui aplikasi digital, pengguna akan meminta pelestari untuk menjemput, mengumpulkan dan membawa sampah di lingkungan mereka ke area check point yang telah disediakan perusahaan. Terhadap sampah yang diambil tersebut, perusahaan melakukan metadata dan membuat algoritma mengenai jenis dan mereknya. Kemudian metadata tersebut dikumpulkan untuk diberikan kepada perusahaan sehingga dapat dibuat proses daur ulang terhadap produk tersebut. “Dari pengguna ke pelestari dan bisa kembali ke industri daur ulang, sehingga bisa berkontribusi pada penurunan emisi karbon,” kata Rizki.
Selama menjalankan bisnis sejak tahun 2018, pihaknya menyebut telah berhasil menurunkan angka penolakan untuk daur ulang dari 48% ke 1% dan menciptakan kecepatan pengumpulan sampah hingga 200%. Secara ekonomi, kegiatan ini juga mampu meningkatkan pendapatan dari setiap stakeholder dalam supply chain antara 30% hingga 60%. “Kita juga memiliki merek dengan data, analisis dan realtime visibility utk proses recycling. Dengan aksi ini, kita dapat memberi dampak pada masyarakat, khususnya pemulung dan ibu rumah tangga,” jelasnya.
Sebagai kesimpulan, Carmelita Hartoto selaku Coordinator of Deputy General Chair (WKU) IV for Human Quality Improvement, Research and Technology and Innovation KADIN menyambut baik semua inovasi bisnis yang dijalankan perusahaan dalam rangka mencapai program Net Zero Emmission tahun 2030. Meski tantangan yang ada meliputi pembiayaan, teknologi dan kemampuan sumber daya manusia, namun hal ini dapat dicapai dengan adanya kolaborasi semua pihak seperti pemerintah, pelaku bisnis dan masyarakat. “KADIN sudah menginisiasi program KADIN Zero Hub, yang diharapkan mampu membantu perusahaan untuk bisa menjadi net zero company,” kata dia.