Bisnis.com, JAKARTA - Kondisi perekonomian dunia berada diambang ketidakpastian. Geliat ekonomi pascakrisis pandemi Covid-19 diperparah dengan krisis geopolitik berupa perang antara Rusia dan Ukraina menyebabkan harga komoditas penting terutama energi dan pangan melonjak tajam.
Kenaikan harga komoditas yang signifikan ini memicu inflasi yang cukup tinggi di berbagai belahan dunia atau biasa disebut dengan istilah stagflasi. Kondisi tersebut menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi global berada di depan mata. Penurunan pertumbuhan ekonomi tersebut terjadi secara luas di hampir semua negara. Hal ini terlihat dari pemangkasan target pertumbuhan yang dilakukan baik di kelompok negara maju maupun berkembang.
Sebagai contoh, proyeksi pertumbuhan ekonomi 2022 untuk Zona Eropa sebagai episentrum konflik geopolitik mengalami revisi ke bawah dari 4,2 persen menjadi 2,5 persen. Kondisi lebih parah terjadi di Rusia dan Ukraina yang diprediksi mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 8,9 persen dan 45,1 persen.
Bahkan pertumbuhan ekonomi dua negara terbesar di dunia, yakni Amerika Serikat dan China juga dipangkas menjadi 2,5 persen dan 4,3 persen pada tahun ini.
Tidak hanya di negara maju, di emerging countries pun mengalami hal yang sama. Brasil telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonominya menjadi 1,5 persen demikian juga dengan Turki. Menurut World Bank, hanya India dan Indonesia yang masih cukup aman terhadap ancaman resesi ekonomi ini dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1 persen dan 7,5 persen.
Terdapat beberapa dampak rambatan yang perlu kita waspadai dan pengaruhnya terhadap negara kita. Pertama adalah kekhawatiran meningkatnya inflasi domestik yang didorong oleh naiknya harga-harga komoditas internasional terutama komoditas energi dan pangan. Saat ini berbagai harga komoditas internasional sudah naik secara signifikan seperti minyak bumi, batu bara, gandum, jagung, minyak sawit hingga kedelai.
Kenaikan harga komoditas internasional ini belum begitu berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia karena harga-harga dalam negeri diatur oleh pemerintah. Pemerintah menggunakan berbagai instrumen fiskal termasuk pajak, subsidi dan insentif untuk mengatasi kondisi ini.
APBN menjadi bantalan dan shock absorber untuk melindungi masyarakat terhadap melonjaknya harga-harga komoditas. Sebagai contoh, pemerintah menggunakan kebijakan pelarangan ekspor dan instrumen pajak ekspor untuk menstabilkan harga minyak goreng domestik akibat meningkatnya harga CPO di pasar internasional.
Kedua, dampak rambatan terkait dengan peningkatan suku bunga akan sangat berdampak terhadap investasi dan pasar keuangan di dalam negeri. Kenaikan suku bunga The Fed akan menyebabkan penyesuaian tingkat imbal hasil (yield) US Treasury. Hal ini akan memiliki risiko keluarnya modal asing di pasar obligasi Indonesia karena beralih untuk berinvestasi di Surat Utang Amerika Serikat. Spread antara yield US Treasury dan yield surat berharga negara (SBN) di tenor yang sama makin menyempit.
Ketiga, likuiditas di pasar akan makin menyempit akibat terjadinya perebutan dana antara pemerintah dan perbankan. Penyempitan likuiditas tersebut akan menyulitkan berbagai negara terutama negara berkembang untuk memperoleh pendanaan dan menarik investasi asing. Akibatnya suku bunga akan makin meningkat dan konsumsi masyarakat akan menurun.
Secara umum, berbagai dampak rambatan tersebut akan menyebabkan perekonomian terkontraksi sehingga diperlukan berbagai kebijakan untuk mengatasi kondisi ini. Faktor yang menjadi optimisme saat ini adalah sebagai negara penghasil sumber daya alam kita masih memiliki bantalan APBN sebagai shock absorber. Harga komoditas sangat mungkin akan terus melambung tinggi dapat menambah penerimaan negara sehingga dapat memperkuat kapasitas fiskal pemerintah.
Meskipun prospek pertumbuhan dunia tidak terlalu menggembirakan, tetapi ruang fiskal pemerintah masih cukup kuat untuk menyangga dinamika ekonomi melalui kebijakan counter-cyclical. Kebijakan tersebut meliputi berbagai program stimulus ekonomi dan bantuan serta subsidi langsung, khususnya untuk kelompok masyarakat bawah. Pengaruh kenaikan harga komoditas ini harus dimoderasi dengan berbagai kebijakan agar dampaknya dapat diminimalkan.
Tentu saja berbagai kebijakan yang diambil harus mempertimbangkan kondisi keuangan dan fiskal pemerintah. Keberlanjutan fiskal melalui kebijakan konsolidasi fiskal di mana tingkat defisit yang harus kembali ke level 3 persen tahun depan pascarelaksasi defisit akibat pandemi Covid-19 tentunya menjadi hal yang tidak dapat ditawar lagi.
Optimalisasi pendapatan negara dan efisiensi belanja menjadi suatu keharusan untuk memperkuat peran APBN dalam mengatasi berbagai kondisi yang terjadi saat ini.
Meskipun pertumbuhan ekonomi tidak terlalu tinggi, tetapi kebijakan pemerintah dapat hadir untuk melindungi lapisan masyarakat bawah sehingga masyarakat lebih sejahtera melalui kebijakan fiskal yang lebih inklusif.
Realitas ekonomi pascapandemi yang diwarnai dengan berbagai perubahan mendasar dan tantangan di berbagai aspek kian memperkuat peran kebijakan fiskal dalam membawa arah perekonomian negara yang terasa hadir untuk seluruh lapisan masyarakat.