Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Diam-diam Sri Mulyani Naikkan Outlook Inflasi 2022 hingga 4,5 Persen

Dampak tekanan eksternal mulai terasa di Indonesia pada akhir kuartal II/2022.
Tangkap layar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam APBN Kita pada 27 Juli 2022./Bisnis - Anggara Pernando
Tangkap layar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam APBN Kita pada 27 Juli 2022./Bisnis - Anggara Pernando

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan menaikkan outlook inflasi tahun ini ke rentang 3,5-4,5 persen, sebagai respons atas tingginya harga komoditas global yang merembet ke banyak aspek, dan masih akan berlanjut hingga semester II/2022.

Hal tersebut tercantum dalam Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Semester I/2022. Pemerintah membeberkan realisasi APBN pada paruh pertama tahun ini dan perkembangan proyeksi perekonomian 2022.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ternyata meningkatkan perkiraan laju inflasi 2022, dari semula 3±1 persen atau 2-4 persen. Alasannya, rambatan dampak tekanan eksternal mulai terasa di Indonesia pada akhir kuartal II/2022 dan masih akan berlanjut, sehingga inflasi berisiko berada di atas rentang sasaran awal.

"Dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, laju inflasi pada 2022 diperkirakan mencapai kisaran 3,5-4,5 persen [year-on-year/YoY]," tertulis dalam Laporan Pelaksanaan APBN Semester I/2022, dikutip Bisnis pada Rabu (27/7/2022).

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu membenarkan bahwa pihaknya mengerek outlook inflasi 2022 lebih tinggi dari target awal. Menurutnya, hal tersebut berkaitan dengan kenaikan harga secara global, terutama energi dan pangan.

"Kenaikan ini sudah berpotensi meningkatkan harga komoditas di dalam negeri. [Peningkatan outlook inflasi] ini adalah strategi dan arahan dari kebijakan pemerintah bersama DPR," kata Febrio dalam konferensi pers APBN Kita, Rabu (27/7/2022).

Kemenkeu menilai bahwa faktor risiko musim kemarau basah dapat mendorong kenaikan harga pangan domestik, terutama dalam produk-produk holtikultura. Faktor itu bersama dengan gejolak global, semakin menambah risiko kenaikan harga yang nantinya dapat berimbas kepada konsumsi masyarakat.

Menurut Febrio, pemerintah mengandalkan subsidi dan kompensasi untuk menjaga harga sehingga tidak akan mengganggu permintaan domestik. Selain itu, pemerintah pun melakukan pengelolaan ekspektasi inflasi masyarakat dan menjaga nilai tukar rupiah.

"APBN diarahkan sebagai shock absorber [terhadap risiko eksternal] untuk menjaga daya beli masyarakat," katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper