Bisnis.com, JAKARTA - Dana Moneter Internasional (IMF) meramal ekonomi global akan semakin suram pada 2022 seiring munculnya berbagai risiko akibat inflasi global, pengetatan aturan Covid-19, hingga perang Rusia vs Ukraina.
Dikutip dari laporan World Economic Outlook edisi April yang dirilis pada Rabu (27/7/2022), IMF menilai perekonomian global akan terkontraksi pada kuartal II/2022 lantaran penurunan di China dan Rusia serta sementara belanja konsumen Amerika Serikat di bawah ekspektasi.
Beberapa guncangan telah menghantam ekonomi dunia yang sudah melemah akibat pandemi Covid-19, antara lain inflasi yang lebih tinggi dari perkiraan di seluruh dunia, terutama di AS dan Uni Eropa, memicu kondisi keuangan yang lebih ketat.
Selain itu, perlambatan yang lebih buruk dari yang diantisipasi di China yang mencerminkan wabah dan penguncian (lockdown) Covid-19. IMF juga mewaspadai dampak negatif lebih lanjut dari perang di Ukraina.
IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi ekonomi global kemungkinan melambat menjadi 3,2 persen tahun ini. Proyeksi ini turun dari perkiraan IMF pada April sebesar 3,6 persen dan 4,4 persen pada Januari.
“Kenaikan suku bunga yang dilakukan bank sentral untuk menahan inflasi diperkirakan akan menggigit berdampak pada tahun 2023, dengan pertumbuhan output global akan melambat menjadi 2,9 persen,” ungkap IMF dalam rilisnya.
Di Cina, kata IMF, penguncian Covid-19 lebih lanjut dan krisis real estat yang semakin dalam telah menyebabkan pertumbuhan direvisi turun sebesar 1,1 poin persentase, dengan limpahan global yang besar.
Sementara itu di Eropa, penurunan peringkat yang signifikan mencerminkan dampak dari perang Rusia vs Ukraina dan kebijakan moneter yang lebih ketat.
IMF juga mencatat tingat inflasi global telah direvisi naik seiring melonjaknya harga makanan dan energi serta ketidakseimbangan pasokan-permintaan yang masih ada.
Inflasi global dan diperkirakan akan mencapai 6,6 persen di negara maju dan 9,5 persen di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang tahun ini. Ini artinya IMF merevisi naik 0,9 dan 0,8 persen untuk masing-masing negara.
"Pada 2023, kebijakan moneter untuk menekan inflasi diperkirakan akan semakin ketat hal ini membuat output global tumbuh hanya 2,9 persen," tulis IMF.
Risiko yang dikhawatirkan IMF dalam World Economic Outlook edisi April terwujud, termasuk memburuknya perang di Ukraina, eskalasi sanksi terhadap Rusia, perlambatan ekonomi China yang lebih buruk dari perkiraan, wabah Covid-19 varian baru, dan gelombang inflasi yang memaksa bank sentral menaikkan suku bunga.
“Dan risiko terhadap prospek yang direvisi sangat condong ke sisi bawah,” ungkap IMF.