Bisnis.com, JAKARTA - Sektor properti di China bertubi-tubi mengalami masalah yang berujung krisis di pasar. Puncaknya bulan ini ketika pembeli rumah melakukan boikot hipotek sebagai bentuk protes terhadap proyek yang tak kunjung selesai.
Boikot tersebut berimbas pada terbengkalainya 300 proyek di 50 kota di seluruh China. Jika tak segera diselesaikan boikot tersebut disinyalir dapat berdampak pada krisis yang menyebar ke seluruh China dan mempengaruhi ekonomi global.
"Apabia default meningkat, mungkin ada implikasi ekonomi dan sosial yang luas dan serius," tulis Fitch Ratings dalam sebuah laporan, dikutip dari Channel News Asia, Senin (25/7/2022).
Dilansir CNA, properti dan industri merupakan sektor yang memberikan seperempat kontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) China.
Setelah reformasi tahun 1998, sektor ini mengalami lonjakan permintaan dari kelas menengah dan didorong oleh kemudahan pinjaman bank untuk pengembang dan pembeli.
Berdasarkan laporan ANZ research, hampir 20 persen pinjaman properti beredar dari sistem perbankan China. Pengembang seringkali bergantung pada 'pra-penjualan' oleh pembeli yang menggunakan hipotek untuk unit yang belum dibangun.
Laporan Bloomberg News mencatat rumah yang belum selesai dibangun memiliki luas 225 juta meter persegi di China.
Di sisi lain, seiring berkembangnya sektor properti, harga perumahan pun semakin melonjak. Sementara risiko dari pengembang yang sarat utang pembangunan semakin mengkhawatirkan.
Hal ini membuat Bank Sentral membatasi proporsi pinjaman properti di akhir tahun lalu untuk menekan total pinjaman yang dikeluarkan bank. Pasalnya, hal tersebut dapat menjadi ancaman untuk seluruh sistem keuangan.
Krisis ke tingkat default terjadi ketika pengembang terbesar di China, Evergrande terguncang dengan utang senilai US$300 miliar. Ditambah, dampak pandemi Covid-19 yang juga menjerat pengembang properti lainnya.
Masalah bertubi-tubi tersebut memicu protes pembeli rumah dengan melakukan boikot hipotek. Mereka akan berhenti melakukan pembayaran hingga konstruksi dilanjutkan.
Menanggapi kondisi ancaman tersebut, hari ini, Senin (25/7/2022) China dikabarkan menyiapkan dana untuk real estate senilai US$44,39 miliar atau Rp637,8 triliun untuk mendukung penyelesaian oleh pengembang properti, termasuk Evergrande Group.
Sebelumnya, dana dari China Construction Bank serta fasilitas pinjaman dari People's Bank of China (PBOC) senilai 50 miliar yuan dan 30 miliar yuan. Namun belakangan dana tersebut bertambah menjadi 300 miliar yuan atau Rp 665,1 triliun.