Bisnis.com, JAKARTA – Neraca perdagangan Indonesia yang mencatatkan surplus US$5,09 miliar pada Juni tahun ini akan menjadi sumber penyelamat dari perlambatan ekonomi yang kini dialami beberapa negara, seperti Sri Lanka. Meski demikian, Indonesia harus waspada karena surplus perdagangan lewat komoditas mentah sangat rentan.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Muhammad Faisal mengatakan kondisi harga komoditas yang mengalami lonjakan menjadi berkah bagi Indonesia. Sebab, kondisi tersebut otomatis menjadi sumber devisa negara dan menjadi salah satu ukuran dari salah satu indikator makro mengenai kerentanan resesi.
“Ini menambah cadangan devisa menjadi salah satu ukuran dari salah satu indikator makro yang terkait dengan kerentanan resesi. Karena cadangan devisa terkait dengan kemampuan menstabilkan nilai tukar dan termasuk juga membiayai impor,” ujar Faisal kepada Bisnis, Rabu (20/7/2022).
Faisal mengatakan saat ini cadangan devisa Indonesia mencapai US$135 miliar. Itu artinya bisa membiayai 6-7 bulan impor. Menurutnya, Indonesia pun menjadi salah satu negara yang paling kecil kerentanannya masuk jurang resesi disamping India.
“Jauh berbeda dengan kondisi di Sri Lanka yang mengalami resesi, dimana mereka hanya bisa membiayai 1 bulan impor di bawah threshold rata-rata internasional. Masuk akal Bloomberg kemarin menempatkan Indonesia salah satu negara yang paling kecil masuk jurang resesi. Kita 3 persen India malah 0 persen,” ujar Faisal.
Dihubungi terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan bahwa kualitas surplus perdagangan yang disumbang oleh komoditas mentah dan olahan primer sebenarnya sangat rentan.
Pada 20 Juli misalnya, menurut Bhima harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di pasar internasional mengalami koreksi -19,8 persen dibanding posisi satu bulan lalu. Kemudian nikel juga turun 20 persen di periode yang sama.
Dia menilai masih belum bisa dipastikan apakah dampak resesi ekonomi global akan menurunkan harga komoditas ekspor, dan menurunkan surplus perdagangan. Tetapi, perubahan harga dari dua komoditas CPO dan batu bara bisa menyebabkan pendapatan negara ikut turun, dan masyarakat pun mengalami pelemahan daya beli yang signifikan khususnya di luar Jawa.
“Jadi tidak bisa hanya andalkan boom commodity untuk mitigasi dampak resesi global, perlu transformasi struktural,” ungkap Bhima kepada Bisnis, Rabu (20/7/2022).
Diketahui, surplus perdagangan bulan Juni 2022 sebesar US$5,06 miliar menopang pencapaian neraca perdagangan pada semester I 2022.
Secara kumulatif, neraca perdagangan Indonesia semester I (Januari–Juni) 2022 mencatatkan surplus US$24,89 miliar. Surplus tersebut khususnya disokong surplus pada sektor nonmigas US$36,59 miliar dan defisit sektor migas sebesar US$11,70 miliar. Surplus semester I/2022 pun menjadi surplus per semester yang terbesar dalam sejarah, mengungguli surplus semester I/2007 yang sebesar US$20,15 miliar.