Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa negara berkembang akan menghadapi tantangan yang lebih berat dalam menerapkan standar perpajakan internasional.
Sri Mulyani menjelaskan, hal ini dikarenakan struktur ekonomi, keuangan, kesiapan teknis, dan keterbatasan data yang berbeda antara negara berkembang dan negara maju.
Dia bahkan memperkirakan, negara berkembang berpotensi mengalami kerugian pendapatan yang lebih besar akibat penghindaran pajak lintas batas atau cross border tax evasion.
Oleh karenanya, Sri Mulyani meminta agar partisipasi negara berkembang lebih didorong dalam menyusun desain dan implementasi standar perpajakan internasional.
“Oleh karena itu, suara mereka harus didengar dan diperhatikan. Khususnya, partisipasi mereka harus sepenuhnya diintegrasikan ke dalam proses pengambilan keputusan sehingga mereka dapat memiliki pengaruh langsung dalam membentuk aturan pajak internasional,” katanya dalam acara "Tax Symposium", Kamis (14/7/2022).
Dia menyampaikan, tantangan yang dihadapi dunia saat ini jauh lebih kompleks dari sebelumnya, terutama dengan pesatnya kemajuan teknologi dan perubahan perilaku konsumen.
Baca Juga
Menurutnya, arsitektur pajak internasional pun harus dimodifikasi untuk menanggapi perkembangan baru tersebut. Penyusunan arsitektur perpajakan internasional pun harus didasari oleh kesepakatan bersama berbasis konsensus, sehingga risiko pada perpajakan dan perdagangan, termasuk kepastian investasi dapat lebih terjaga.
Negara anggota G20 dan OECD/G20 BEPS Inclusive Framework sebelumnya telah berkomitmen untuk meningkatkan partisipasi negara berkembang dalam menyusun dan menerapkan standar perpajakan internasional.
Dalam laporan ini kata Sri mulyani, meski ada kemajuan yang baik, namun tantangan tetap ada bagi negara berkembang, terutama yang kapasitas negaranya paling terbatas.
Dia menekankan, standar perpajakan internasional harus menjadi solusi global untuk berbagi tantangan, dan solusi untuk fungsi terbaik.
“Untuk itu, sangat penting untuk membangun konsensus tentang standar yang ditetapkan melalui pendekatan inklusif, dengan mempertimbangkan kapasitas dan kebutuhan negara berkembang dan negara-negara yang paling terkendala,” jelasnya.