Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) meminta pemerintah bertindak serius lantaran perekonomian Indonesia berada di ambang stagflasi.
Hal itu terjadi seiring laju inflasi yang terus menanjak tetapi pertumbuhan ekonomi belum optimal. Apalagi, stagflasi telah menghantui kondisi ekonomi global, bahkan di negara-negara maju.
Berdasarkan Kajian Tengah Tahun Indef, gejala stagflasi ekonomi mulai terlihat ketika terjadi inflasi yang tinggi, tetapi di saat yang bersamaan pertumbuhan ekonomi tumbuh melempem. Sinyal stagflasi global terlihat dari kondisi Amerika Serikat, yang inflasinya menanjak hingga 8 persen tetapi pertumbuhan ekonominya rendah.
Di Indonesia, inflasi telah meningkat hingga 4,85 persen pada Juni 2022. Pada tahun ini, pemerintah menargetkan inflasi bergerak di 3±1 persen atau 2—4 persen, sehingga menurut Indef pemerintah perlu mencermati kondisi terkini, karena jika pertumbuhan ekonomi kuartal II/2022 ternyata melambat terdapat risiko terjadinya stagflasi.
"Ekspektasi akselerasi ekonomi di fase pemulihan ekonomi nampaknya harus tertunda akibat eskalasi global yang tidak kunjung berakhir," tertulis dalam keterangan resmi Kajian Tengah Tahun Indef, dikutip pada Sabtu (9/7/2022).
Indef mencatat bahwa tingkat kemiskinan Indonesia memang menurun, tetapi belum mencapai kondisi yang lebih baik dari sebelum pandemi Covid-19. Pada September 2021 tingkat kemiskinan sudah mencapai 9,71 persen, turun dari posisi Maret 2021 di 10,14 persen, juga lebih rendah dari September 2020 di 10,19 persen.
Baca Juga
Meskipun tingkat kemiskinan sudah menurun, Indef menilai bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat tidak serta merta menjadi lebih baik. Kenaikan upah nominal lebih rendah dari inflasi yang terjadi sehingga menekan kondisi para pekerja, terlebih jika terjadi stagflasi.
Pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) seharusnya mampu menjaga stabilitas perekonomian dan mengawal pemulihan ekonomi.
Namun, Indef menilai bahwa kemampuan fiskal pemerintah belum teruji karena terdapat tantangan yang lebih besar pada 2023, yakni masuknya tahun politik dan konsolidasi fiskal.
"Pada 2023 defisit APBN tidak bisa lagi di atas 3 persen. Ditambah dengan kebutuhan anggaran pembangunan ibu kota negara [IKN] dan kenaikan subsidi energi yang melambung tinggi, tentu akan memberatkan kemampuan fiskal. Akumulasi kompleksitas masalah fiskal ini membuat peran APBN sebagai shock absorber sangat diragukan," tertulis dalam kajian Indef.