Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memproyeksikan pemulihan ekonomi pada semester II/2022 berpotensi tertunda, terutama karena tekanan eksternal akibat gejolak geopolitik.
Berdasarkan Kajian Tengah Tahun Indef, tren pemulihan ekonomi yang terjadi sejak paruh pertama malah menghadapi peningkatan risiko global yang menjalar ke domestik pada semester II/2022. Ekspektasi akselerasi ekonomi pada paruh kedua tahun ini pun berpotensi harus tertunda.
Setelah pandemi Covid-19 cukup mereda, Indef menilai bahwa ekonomi global justru menghadapi tantangan resesi akibat ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina, yang kemudian mendorong inflasi dan lonjakan harga. Imbasnya ke Indonesia, lemahnya produktivitas perekonomian semakin terbebani lonjakan harga, serta dilema fiskal dan moneter.
"Di sisi domestik, masalah klasik masih terus menghampiri sendi-sendi ekonomi bangsa. Mulai masalah lonjakan harga pangan dan energi, dilema fiskal dan moneter, hingga masih lemahnya produktivitas perekonomian," tertulis dalam keterangan resmi Kajian Tengah Tahun Indef, dikutip pada Sabtu (9/7/2022).
Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global, dari semula 4,1 persen menjadi hanya 2,9 persen, yang tentunya turut mempertimbangkan kondisi negara berkembang seperti Indonesia. Kenaikan laju inflasi terjadi secara global, termasuk di Indonesia yang pada Juni 2022 lalu sudah menyentuh 4,35 persen.
Di sisi eksternal, inflasi yang tinggi membuat Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga dan sangat memengaruhi arus modal Indonesia. Adapun, di dalam negeri, terjadi tren penurunan upah riil buruh sepanjang semester I/2022, karena nominal upah yang naik malah tergerus cukup dalam oleh inflasi yang tinggi.
Baca Juga
"Dari sisi produksi, terjadi trend penurunan Purchasing Managers’ Index [PMI] Manufaktur Indonesia dari S&P Global sepanjang semester I/2022. Indeks tersebut terus mengalami penurunan dari 53,7 pada Januari 2022 dan sudah menyentuh 50,2 pada Juni 2022. Hal ini diperkirakan membuat Prompt Manufacturing Index pada kuartal II/2022 dari Bank Indonesia mengalami perlambatan," tulis kajian itu.
Indef menilai bahwa merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat berimplikasi terhadap meningkatnya biaya impor. Komponen bahan baku impor dalam aktivitas manufaktur Indonesia masih cukup tinggi, sehingga kondisi nilai tukar itu dapat menjadi beban dan memperlambat akselerasi produksi.
"Dalam kondisi ketergantungan terhadap barang modal dan bahan baku impor, maka hal ini akan memengaruhi struktur biaya pada sektor riil sehingga kenaikan harga barang tidak dapat dihindari," tulis Indef.