Bisnis.com, JAKARTA – Mantan analis Fitch Ratings Charlene Chu, yang terkenal di kalangan pengamat China karena memperingatkan gelembung utang di tahun 2010 silam, mengatakan bahwa krisis utang di sektor properti China kemungkinan baru saja dimulai.
Dilansir Bloomberg, menyusul tindakan keras Beijing terhadap leverage tingkat utang di sektor real estat, sejumlah pengembang properti seperti China Evergrande Group dan lainnya mengalami gagal bayar obligasi.
Charlene Chu, seorang analis senior di Autonomous Research, sebuah divisi dari Sanford C. Bernstein & Co., memperkirakan bahwa ada 30 perusahaan properti China mengalami gagal bayar dengan total utang mencapai US$1 triliun.
Meskipun bank memiliki perlindungan agunan untuk pinjaman mereka kepada pengembang, keadaan dapat menjadi jauh lebih buruk jika perbankan mulai melakukan penaksiran ulang agunan menjadi lebih rendah.
“Terjadinya default telah terjadi setidaknya pada masa paling awal, dan restrukturisasi biasanya memakan waktu cukup lama. Saat ini kita belum benar-benar sampai pada titik untuk mengatakan, 'Oke, apa yang sebenarnya akan terjadi dengan properti?’” ungkap Chu seperti dikutip Bloomberg, Kamis (7/7/2022).
Yang terbaru, pengembang properti Shimao Group Holdings Ltd melewatkan pembayaran obligasi global senilai US$1 miliar atau setara Rp15 triliun yang jatuh tempo pada Minggu (3/7/2022), menandakan gagal bayar pertama pada obligasi publik setelah berbulan-bulan tekanan di pasar meningkat.
Baca Juga
Shimao adalah salah satu kegagalan pembayaran obligasi dolar terbesar sepanjang tahun ini di China dan perusahaan tersebut memiliki sekitar US$5,5 miliar obligasi luar negeri yang beredar.
Chu mengatakan risiko yang lebih besar muncul jika individu China mulai gagal membayar pinjaman properti. Kemungkinan ini terjadi semakinbesar karena tingkat pengangguran di China semakin tinggi.
"Sektor properti China hampir mati dan hampir tidak tumbuh dan digunakan untuk mempekerjakan banyak orang dan banyak industri hilir untuk furnitur dan barang-barang rumah tangga dan elektronik serta peralatan," kata Chu.
Ia melanjutkan, semua itu dipengaruhi oleh perlambatan properti ini, dan itulah mengapa ia memperkirakan China sedang dalam fase awal krisis ini.
Chu memuji pemerintah China atas tindakan untuk membendung kampanye pembangunan yang berlebihan oleh pengembang. Ia beranggapan jmlah properti yang dibangun tidak sesuai dengan tren populasi negara.
“Kita perlu mengingat demografi yang menurun di China. Penduduk usia kerja, yang sebenarnya merupakan kelompok konsumen properti, mencapai puncaknya pada tahun 2015 sebesar 801 juta orang dan sudah turun 20 juta sejak saat itu,” katanya.
Secara lebih luas, Chu memperkirakan krisis keuangan ini tidak akan dialami secara langsung. Hal ini karena bank-bank China diam-diam berupaya menekan utang macet, termasuk melakukan hapus buku terhadap utang senilai 3,1 triliun yuan.
Tetapi dengan utang yang terus meningkat, hal ini menjadi salah satu masalah struktural yang membebani pertumbuhan China.
“Kita memasuki era di sini di mana kita akan melihat pertumbuhan satu digit rendah hingga menengah di China dengan sebaik-baiknya,” pungkasnya.