Bisnis.com, JAKARTA – Tingkat utang China diperkirakan mencapai rekor tertinggi tahun ini di tengah upaya bank sentral untuk menggenjot kredit dan menopang pertumbuhan ekonomi.
Dilansir Bloomberg, Direktur National Institution for Finance and Development (NIFD) Zhang Xiaojing mengatakan rasio leverage keseluruhan, yang merupakan persentase total utang dibandingkan PDB, diproyeksikan meningkat 11,3 poin persentase menjadi sekitar 275 persen tahun ini.
Zhang mengatakan kenaikan tersebut sebagian besar karena perlambatan pertumbuhan ekonomi.
“Kenaikan rasio utang sementara tidak akan membawa terlalu banyak risiko. Sikap bank sentral saat ini adalah neraca masih harus berkembang, dan ekonomi perlu ditingkatkan," kata Zhang, seperti dkutip Bloomberg, Rabu (6/7/2022)..
China telah berusaha mengendalikan rasio leverage sejak 2017 setelah stimulus sebelumnya memicu utang dan meningkatkan risiko keuangan dalam perekonomian. Pemerintah menghentikan kebijakan tersebut untuk sementara pada tahun 2020 saat meningkatkan stimulus ketika pandemi virus corona melanda. Rasio utang naik 23,6 poin persentase tahun itu, menurut perkiraan dari NIFD.
Tahun ini China tengah dilanda meningkatnya kasus Covid-19 dan pengetatan pembatasan, di saat Beijing mengumumkan stimulus tambahan untuk mendorong pertumbuhan. Di samping kemerosotan properti yang terus-menerus, dan komitmen pemerintah terhadap pendekatan Zero Covid membuat ekonom pesimistis target pertumbuhan sekitar 5,5 persen dapat dicapai.
Dengan pilihan terbatas untuk dukungan ekonomi, ditambah kebijakan moneter yang lebih ketat di luar negeri, People's Bank of China (PBOC) telah mengisyaratkan stimulusnya kemungkinan akan fokus pada peningkatan kredit daripada menurunkan suku bunga.
Baru-baru ini, PBOC menggarisbawahi pergeseran itu dengan menghapus janji lama untuk menjaga rasio utang dengan stabil.
Konsumen enggan untuk mengambil lebih banyak utang mengingat prospek ekonomi yang tidak pasti. Utang jangka menengah dan panjang rumah tangga menyusut dalam dua dari lima bulan pertama tahun 2022. Ini merupakan penurunan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Penurunan ini memicu perdebatan tentang risiko bahwa China merosot ke dalam resesi neraca yang mirip dengan apa yang beberapa orang berpendapat terjadi di Jepang pada 1990-an. Penduduk dan perusahaan di Negeri Panda tersebut mencoba mengurangi utang dengan memotong pengeluaran dan investasi, tetapi itu hanya memperburuk kemerosotan ekonomi.
Namun, Zhang tetap optimistis terhadap prospek pertumbuhan kredit China tahun ini karena kredit perumahan tidak mungkin terus menyusut. Dia memperkirakan leverage rumah tangga akan naik dua hingga tiga poin persentase.
“Sangat kecil kemungkinan ada penurunan leverage rumah tangga,” tambahnya.
Zhang mengatakan stimulus pemerintah untuk pasar perumahan, termasuk penurunan suku bunga KPR, akan membantu menstabilkan kredit. Struktur utang di sektor residensial kemungkinan akan lebih sehat seiring pertumbuhan kredit operasional rumah tangga.
Menurut data NIFD, leverage rumah tangga tetap stabil di sekitar 62 persen sejak akhir 2020 setelah melonjak dari sekitar 40 persen pada 2016.