Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menakar Nasib Perlindungan PMI di Luar Negeri

Pelindungan bagi Pekerja Migran Indonesia di negara penempatan masih terus jadi bahasan di beberapa kementerian dan lembaga.
Tim medis melakukan pemeriksaan kesehatan pada pekerja migran Indonesia (PMI) asal Kota Kediri, Jawa Timur, yang diisolasi setelah pulang ke Tanah Air./Antararn
Tim medis melakukan pemeriksaan kesehatan pada pekerja migran Indonesia (PMI) asal Kota Kediri, Jawa Timur, yang diisolasi setelah pulang ke Tanah Air./Antararn

Bisnis.com, JAKARTA – Sejatinya pegawai migran Indonesia atau PMI memiliki title pahlawan devisa. Seperti halnya pahlawan kemerdekaan yang harus terjamin keamanannya, begitu pun para PMI di tempat mereka bekerja.

Bank Indonesia mencatat Indonesia sebagai negara pengirim pekerja migran terbesar di Asia, setelah China dan Filipina. Remitansi yang dari pekerja Indonesia di luar negeri sebelum masa pandemi mencapai US$11,4 miliar (2019) atau bertumbuh 21 persen terhadap kurun waktu lima tahun sebelumnya.

Meski demikian, PMI masih saja rentan terhadap berbagai risiko, seperti gagal ditempatkan, ancaman penghentian kontrak maupun cuti tanpa dibayar.

“Dalam konteks ini, jaminan sosial sebagai salah satu komponen perlindungan bagi pekerja migran memiliki peluang besar untuk menjadi jaring pengaman sosial (social safety net) bagi pekerja migran yang berada dalam kondisi rentan,” ujar Ketua Komisi Kebijakan Umum DJSN Mickael Bobby Hoelman dalam Media Briefing Hasil Kajian DJSN di Hotel Grand Sheraton, Jakarta, Selasa (28/6/2022).

Ketika mendaftar menjadi calon PMI, mereka wajib mendaftar menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan atau BPJamsostek dengan dua program, yakni JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja) dan JKM (Jaminan Kematian).

Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 18/2018 tentang Pelindungan PMI, peserta juga dapat mendaftar menjadi peserta JHT atau Jaminan Hari Tua, bersifat tidak wajib.

Melalui kepesertaan BPJamsostek, menunjukkan kehadiran negara dalam melindungi warganya terutama yang bekerja di negeri orang.

Faktanya di lapangan, Dewan Jaminan Sosial Nasional atau DJSN menemukan masih banyak PMI yang tidak terdaftar menjadi peserta. Berdasarkan kajian DJSN bersama mitra pembangunan pemerintah Jerman, GIZ, terhadap sekitar 100 narasumber, terdapat 67,7 persen PMI yang tidak mengikuti kepesertaan BPJS.

“Menurut estimasi kami ada sekitar 60 persen lebih belum menjadi anggota BPJamsostek,” papar Ketua Tim Peneliti Soegeng Bahagijo.

Dalam lingkup besar, dari 4,6 juta PMI yang terdaftar dalam SISKOP2MI atau sistem komputerisasi untuk pelayanan penempatan dan pelindungan PMI, per April 2022 hanya 205.295 orang yang terdaftar sebagai peserta BPJamsostek.

Artinya, negara hanya melindungi kurang dari 5 persen PMI yang tersebar di seluruh dunia. Apakah masih dapat dikatakan negara sudah hadir dalam melindungi PMI?

Hal yang menjadi alasan kuat minimnya kepesertaan adalah akses informasi serta pembayaran iuran yang terhambat yurisdiksi.

Direktur Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan Zainudin melaporkan memang belum adanya kantor cabang BPJS di luar negeri maupun layanan online untuk pembayaran lintas negara.

“Kami dimandatkan untuk menyelenggarakan Jamsos PMI, tapi di luar negeri ternyata tidak semudah di dalam negeri, karena ada masalah teritori negara,” ujarnya menanggapi hasil kajian DJSN.

Zainudin mengungkapkan sudah sejak lama ada keinginan untuk menghadirkan perwakilan di luar negeri, namun hingga saat ini pun belum dapat terwujud. Bersama Malaysia pun sempat merencanakan hal tersebut, namun lagi-lagi terhambat yurisdiksi negara.

“Kalau sekarang boleh buka kantor di beberapa negara, saya langsung buka kantor,” ungkapnya.

Butuh koordinasi bersama Kementerian Luar Negeri dalam mewujudkan kemudahan bertransaksi antar negara terutama dalam pembayaran iuran BPJamsostek. Karena selama ini, PMI membayar iuran di awal pada sebelum keberangkatan untuk dua tahun sepanjang kontraknya berlangsung.

Saat kontraknya berakhir, ada dua kemungkinan yang terjadi, PMI tidak melanjutkan kontrak kerja dan kembali ke Indonesia atau memperpanjang kontrak kerja namun tidak untuk kepesertaan BPJamsostek.

“Sistem lapor diri dan perpanjangan kontrak kerja di luar negeri belum terintegrasi dengan sistem pendataan di dalam negeri sehingga proses pendaftaran kepesertaan di luar negeri tidak memungkinkan,” lanjutnya.

Sanggup Tetapi Enggan Bayar

DJSN melihat, tidak berbeda dengan anak Jakarta Selatan yang mampu untuk membayar gaya hidup, PMI pun sangat mampu untuk membayar iuran jaminan sosial tersebut.

DJSN menyebut, bukan tidak sanggup membayar, namun tidak ada keinginan untuk membayar iuran tersebut.

Bukan tanpa sebab, PMI yang telah bekerja di luar negeri melihat kurangnya manfaat yang mereka dapatkan dari jaminan sosial tersebut. PMI tidak mendapat manfaat yang dapat mereka akses di luar negeri termasuk perawatan untuk kecelakaan kerja di luar negeri.

Hal ini yang membuat PMI memutuskan untuk berhenti menjadi peserta jaminan sosial milik negara tersebut.

Berdasarkan paparan Ketua Tim Peneliti Soegeng, bila membandingkan dengan konsorsium asuransi yang sebelumnya berlaku, jauh lebih banyak manfaat dari konsorsium daripada BPJamsostek ketika mereka berada di negara penempatan.

Bila gaji tidak dibayar, PMI akan menerima manfaat dari konsorsium asuransi berupa uang sebesar upah yang belum dibayar selama masa kerja. Sementara BPJamsostek tidak memberikan manfaat tersebut.

Kasus lainnya, bila PMI sakit di luar negeri, BPJS hanya akan memberikan layanan di dalam negeri. Artinya, PMI harus kembali ke Indonesia terlebih dahulu untuk dapat mengklaim jaminan sosial tersebut. Dahulu, konsorsium menanggung semua jenis sakit serta pengobatan dalam dan luar negeri.

Padahal, Undang-undang No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menyebutkan, “bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur.”

Selain kesenjangan manfaat yang diberikan, PMI merasa lebih membutuhkan program JHT ketimbang JKK dan JKM dari BPJamsostek.

“Secara sadar teman-teman PMI itu tidak mau ikut, walaupun bisa, karena kurang cocok menu yang ada, mereka lebih membutuhkan JHT, tetapi JHT sayangnya tidak termasuk paket yang ditawarkan,” ujar Ketua Tim Peneliti Soegeng.

Fakta menarik dari kepesertaan PMI di BPJamsostek, ketidakinginan dan kesulitan mengakses layanan BPJS pun tercermin dari sedikitnya jumlah klaim dalam lima tahun terakhir.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Penempatan Kawasan Amerika Dan Pasifik BP2MI Yana Anusasana Dharma Erlangga membeberkan bahwa sejak 2017 hingga 2022, hanya ada 766 klaim senilai Rp27 miliar.

Padahal, iuran yang masuk sebesar Rp283 miliar atau uang yang dikeluarkan untuk klaim hanya mencakup 9,5 persen dari total iuran.

“Tidak terlalu banyak uang yang dikeluarkan untuk klaim ini,” paparnya.

Revisi Permenaker No. 18/2018

Sudah sejak lama Kementerian Ketenagakerjaan mengkaji ulang aturan terkait pelindungan PMI. Mereka mengklaim saat ini terus berdiskusi terkait revisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 18/2018 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Dalam kesempatan yang sama, Sub Koordinator Bidang Kepesertaan Jaminan Sosial Penerima Upah Kementerian Ketenagakerjaan Nindya Putri menyampaikan revisi tersebut atas dasar untuk memastikan PMI mendapatkan manfaat dari jaminan sosial dengan baik.

“Revisi Permenaker No. 18/2018, beberapa latar belakang revisi Permenaker ini bagaimana kami berusaha untuk close the gaps terkait manfaat bagi PMI dan juga bagaimana upaya kita untuk memberikan pelayanan untuk tetap memperhatikan SJSN,” ungkapnya.

Nindya memaparkan setidaknya ada empat poin penting yang terus menjadi pembahasan, yakni peningkatan besaran manfaat dan menambah cakupan manfaat bagi PMI. Kemenaker bersama kementerian dan lembaga terkait, termasuk DJSN, membahas manfaat-manfaat atau menu yang PMI butuhkan ketika bekerja di luar negeri.

“Untuk menambahkan menu menu yang mungkin tadi ada manfaat di konsorsium yang belum ada di Permenaker No. 18/2018, bagaimana kami berusaha melakukan penyesuaian dengan menu yang diinginkan PMI,” lanjutnya.

Selain itu, Kemenaker juga berencana menambahkan kualitas layanan baik di dalam dan luar negeri serta melakukan integrasi sistem pelaporan dan klaim yang akan memudahkan PMI.

Sebelumnya revisi tersebut diprediksi selesai pada Maret lalu, namun dengan alasan banyaknya pertimbangan, hingga akhir Juni ini belum kunjung rampung.

“Mudah-mudahan selesai dalam satu dua bulan ke depan,” ungkap Nindya.

Kasus PMI di Luar Negeri

Beragam kasus PMI di luar negeri menyita perhatian publik. Terakhir, kasus PMI di Sabah. Mereka tertahan akibat berbagai masalah seperti ilegal/tanpa dokumen, overstay, narkoba, hingga kriminal.

Mengapa masih banyak PMI yang berangkat secara non prosedural atau ilegal? Sederhana jawabannya menurut BP2MI, tidak mau ribet dan tidak mau menunggu lama untuk berangkat.

BP2MI menyampaikan pihaknya terus membantu kepulangan PMI yang bermasalah. Namun tidak semua PMI yang bermasalah tersebut dapat mendapat bantuan karena mereka pun tidak terlindungi oleh jaminan sosial negara.

Dalam sistem pemulangan PMI yang bermasalah, BP2MI kerja sama dengan Kementerian Luar Negeri untuk memulangkan hingga daerah perbatasan. Mulai dari perbatasan hingga rumah, BP2MI akan mendampingi dan membiayai mereka.

Kepala BP2MI Benny Rhamdani pun dalam waktu dekat akan mengunjungi PMI yang bermasalah di rumah detensi di Sabah, Malaysia.

“Kewenangan kami untuk PMI di luar negeri itu sepenuhnya ada di Kemenlu, bukan kami gak mau urus, karena memang pembagian tugasnya seperti itu,” ujar Yana.  

Sementara itu, pada rapat kerja Kemenaker bersama Pejabat Tinggi Madya Kementerian Ketenagakerjaan, Selasa (28/6/2022), tentang upaya peningkatan kepesertaan jaminan sosial, Menaker Ida Fauziyah menarik sejumlah kesimpulan.

Adapun terkait kepesertaan Jamsos bagi PMI, Ida mengatakan perlunya masifikasi sosialisasi Jamsos PMI di kantong-kantong PMI dan negara penempatan PMI. Dia juga meminta BPJS Ketenagakerjaan untuk menyediakan kanal daftar dan kanal bayar di negara penempatan PMI.

Pihaknya juga meminta BPJS Ketenagakerjaan untuk melakukan kewajibannya menyampaikan laporan secara berkala bulanan, triwulan, dan tahunan kepada Menteri melalui Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kemnaker.

Laporan yang dimaksud paling sedikit memuat data dan jumlah kepesertaan, jumlah iuran yang diterima, jumlah klaim yang diajukan, jumlah klaim yang disetujui, dan santunan yang dibayarkan.

"Terakhir, Pengawas Ketenagakerjaan akan lebih aktif melakukan pengawasan pelaksanaan Program Jamsos bersama dengan BP2MI sebagaimana amanat PP No. 59/2021 tentang Pelaksanaan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Pengawas Ketenagakerjaan akan proaktif berkoordinasi dengan LTSA PPMI di daerah," ujarnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper