Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

World Bank: Setelah Sri Lanka, Risiko Utang Mencari Korban Baru di Negara Berkembang

Dunia semakin dekat dengan risiko utang dan krisis. Sri Lanka telah menjadi negara pertama yang gagal bayar pada periode ini.
World Bank: Risiko utang negara berkembang semakin nyata.
World Bank: Risiko utang negara berkembang semakin nyata.

Bisnis.com, JAKARTA — Negara berkembang menghadapi tekanan utang yang terus menumpuk dengan cepat seiring dengan kenaikan suku bunga acuan berbagai bank sentral.

Kepala Ekonom World Bank Group Carmen Reinhart mengatakan dunia semakin dekat dengan risiko utang dan krisis utang.

"Krisis utang perlu dipecahkan melalui pengurangan utang yang signifikan. Jika tidak, layaknya plester, itu adalah plester yang cepat habis," ungkapnya pada televisi Bloomberg, seperti pada Selasa (28/6/2022).

Pernyataan senada diungkapkan oleh Goldman Sachs Group Inc. Ekonomi negara berkembang sedang memasuki siklus baru gagal bayar dengan Sri Lanka kemungkinan menjadi yang pertama.

Rusia juga telah mencapai default untuk pembayaran surat utang negara dalam mata uang asing pada Senin.

Di samping itu, Reinhart mengatakan bank-bank sentral lambat dalam upaya untuk mendinginkan inflasi yang sebagian besar didorong oleh kemacetan rantai pasok dan perang Rusia di Ukraina.

“Harapan besar adalah bank sentral dan ekonomi utama akan dapat merancangnya dengan mulus. [Namun], saya ragu," tandas Reinhart.

Terpisah, bank sentral di Zimbabwe melakukan langkah paling agresif dengan mengkerek suku bunga lebih dari dua kali lipat menjadi 200 persen dari sebelumnya 80 persen. “Komite kebijakan moneter sangat prihatin dengan kenaikan inflasi baru-baru ini. Komite mencatat bahwa peningkatan inflasi merusak permintaan dan kepercayaan konsumen dan bahwa, jika tidak dikendalikan, itu akan membalikkan keuntungan ekonomi yang signifikan yang dicapai selama dua tahun terakhir,” kata Gubernur John Mangudya, mengutip Bloomberg, Selasa (28/6/2022).

Sebagai catatan, tingkat inflasi tahunan Zimbabwe melonjak menjadi 192 persen pada Juni, level tertinggi dalam setahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh kenaikan harga makanan lebih dari tiga kali lipat. Kenaikan harga telah didorong oleh depresiasi tajam dalam dolar Zimbabwe, yang telah kehilangan lebih dari dua pertiga nilainya terhadap dolar AS tahun ini. Kondisi ini menempatkan mata uang Zimbabwe dengan kinerja terburuk di Afrika. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Nindya Aldila
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper