Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah boleh mengklaim bahwa penerimaan pajak terus tumbuh. Mereka juga bisa sedikit ongkang-ongkang kaki karena melonjaknya harga komoditas telah berimbas cukup positif terhadap pendapatan negara.
Penerimaan PPh dari sektor migas, misalnya, sampai Mei kemarin telah mencapai Rp36,04 triliun atau 76,18 persen dari target yang dipatok APBN senilai Rp47,31 triliun. Kinerja penerimaan tersebut jika dibandingkan dengan realisasi Mei 2021 penerimaan PPh migas melonjak hingga 81,5 persen.
Tren melonjaknya penerimaan dari sektor komoditas juga tercermin dari struktur penerimaan pajak sektoral. Sektor pertambangan selama Mei kemarin tumbuh sangat tinggi bahkan mencapai 296,3 persen. Padahal tahun lalu minus 9,6 persen.
Secara kontribusi sektor pertambangan juga naik dibandingkan Mei tahun 2019 atau masa sebelum pandemi. Kontribusi sektor pertambangan terhadap penerimaan pajak pada Mei 2022 tembus di angka 10 persen dari penerimaan pajak.
Itu artinya jika penerimaan pajak Mei 2022 Rp705,82 triliun, Rp70,5 triliun di antaranya disumbang oleh penerimaan dari komoditas pertambangan.
Padahal pada tahun-tahun sebelumnya, kontribusi penerimaan sektor pertambangan hanya di kisaran 4 sampai 6 persen. Pun demikian jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2018, yang waktu itu banyak ditolong oleh komoditas, kontribusi sektor pertambangan hanya 6,6 persen.
Baca Juga
Melonjaknya penerimaan pajak dari sektor pertambangan atau komoditas migas, baik dari sisi persentase maupun kontribusi ke penerimaan pajak, memiliki banyak implikasi. Fenomena ini ibarat pedang bermata dua.
Dari sisi penerimaan tentu ini akan memberikan dampak yang cukup positif. Target penerimaan pajak bisa saja selamat seperti tahun lalu. Rapor Ditjen Pajak pun akan kembali positif. Namun, dari sisi struktur kinerja penerimaan, ekonomi, hingga APBN secara menyeluruh, tren ini bisa menjadi warning bagi pemerintah.
Pasalnya, kontribusi penerimaan sektor komoditas yang semakin naik mengindikasikan transformasi ekonomi belum sesuai ekspektasi.
Reformasi pajak yang banyak digembar-gemborkan juga belum menunjukkan hasil yang optimal. Intinya, Indonesia masih terjebak alias belum bisa move on dari kutukan harga komoditas. Stagnan.
Kalau harga komoditas naik, maka penerimaan pajak akan naik. Sebaliknya, kalau komoditas anjlok penerimaan pajak masih anjlok. APBN bisa dipastikan rawan goncangan. Defisit bisa semakin melebar, utang makin menumpuk, dan pembangunan yang berkelanjutan bisa terancam.
Rasio Pajak Terendah
Di sisi lain, dengan postur penerimaan pajak seperti saat ini, upaya untuk meningkatkan rasio pajak ke posisi yang ideal bagai panggang jauh dari api. Perlu diketahui, rasio pajak pemerintah hanya berada di kisaran 11 persen. Terendah se-Asia Pasifik apalagi negara OECD.
Selain itu, capaian rasio pajak ini juga sangat jauh dari baseline atau syarat untuk melakukan pembangunan yang berkelanjutan versi Dana Moneter Internasional (IMF) yang mematok rasio pajak di angka 15 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Dengan kinerja rasio pajak yang masih sangat rendah, sejatinya Indonesia -- kalau merujuk data IMF -- tidak memenuhi syarat untuk melakukan pembangunan yang berkelanjutan.
Pemerintah ujung-ujungnya harus memilih dua pilihan yang cukup pelik. Menambah utang atau tetap membangun tetapi dengan menyesuaikan kemampuan fiskal yang ada. Dua-duanya punya risiko.
Kalau pembangunan ala kadarnya, proses transformasi ekonomi juga bakal lambat dan cita-cita Indonesia Emas pada tahun 2045 bisa ambyar.
Sementara jika nekat terus menarik utang tanpa diimbangi dengan perbaikan dari sisi penerimaan akan membahayakan stabilitas anggaran. Rasio utang akan terus membumbung. Sedangkan rasio pajak akan nyungsep karena pemerintah dibuai oleh rayuan palsu komoditas.
Pemerintah bisa saja berdalih bahwa rasio utang pemerintah masih dalam fase aman. Rasio utang, jika merujuk ke UU Keuangan Negara, dibatasi 60 persen. Rasio utang pemerintah terhadap PDB saat ini masih berada di kisaran 40-an persen ke atas.
Namun jika melihat kemampuan pendapatan untuk membayar utang, grafiknya seperti mulut buaya yang menganga. Rasio utang meroket, terutama jika dibandingkan dengan masa sebelum pandemi yang lazimnya di bawah 30 persen PDB. Sedangkan rasio pajak stagnan, bahkan anjlok kalau tidak ada bantuan penerimaan dari komoditas.
Langkah pemerintah untuk memperkecil celah antara rasio pajak dengan rasio utang sejatinya sudah banyak dilakukan. Sayangnya, mayoritas instan. Tax amnesty, kenaikan PPN, hingga Program Pengungkapan Sukarela alias PPS adalah tiga dari sekian kebijakan instan untuk memperbaiki struktur penerimaan pajak yang rapuh.
Tax Amnesty betapapun diklaim mampu meningkatkan penerimaan dan kepatuhan, toh nyatanya tidak bisa mengubah struktur penerimaan pajak. Kontribusi pajak orang kaya (PPh Op non karyawan), masih saja berada di kisaran 1 persen.
Padahal, konon waktu pelaksanaan pengampunan pajak, sasaran utama program tersebut adalah wajib pajak orang pribadi. PPS pun sama, sampai saat ini belum punya dampak signifikan terhadap struktur penerimaan pajak.
Di sisi lain, kebijakan kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen tampaknya menyisakan banyak pertanyaan. Untuk siapa sebenarnya kebijakan tersebut?
Kalau untuk masyarakat, kenapa kebijakan ini malah menjadi beban. Harga-harga barang naik. Sementara tren pendapatan masyarakat turun. Konsumsi juga turun.
Rupanya, kebijakan menaikkan tarif PPN jadi 11 persen malah semakin memperkuat hipotesis soal ketidakmampuan otoritas pajak untuk mengoptimalkan penerimaan.
Sebagai ilustrasi dengan basis konsumsi rumah tangga tahun 2021 senilai Rp9.236 triliun dan tarif PPN di kisaran 10 persen, seharusnya penerimaan PPN tahun lalu bisa mencapai Rp923,6 triliun. Itu angka idealnya.
Sementara realisasinya, penerimaan PPN tahun 2021 hanya berada di angka Rp550,9 triliun atau hanya 60 persen dari total potensi penerimaan PPN. Kemana 40 persen potensi penerimaan PPN lainnya? Wallahualam.
Selain jauh dari kata ideal, angka ini menunjukkan adanya distrosi dalam penerimaan PPN. Distorsi itu bisa disebabkan dari sisi kepatuhan pelaporan PPN atau memang ada gap dari sisi kebijakan. Dua aspek inilah yang seharusnya dibenahi terlebih dahulu.
Pemerintah seharusnya berani buka-bukaan, berapa perusahaan atau pihak yang patuh menyetor PPN dan berapa yang tidak menyetor. Bukannya langsung main menaikkan tarif PPN di angka 11 persen.
Mungkin bagi Dirjen Pajak, Menteri Keuangan, dan banyak pejabat di Kemenkeu, kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen tidak terlalu berpengaruh.
Tetapi, bagi masyarakat kalangan bawah, kebijakan ini akan sangat membebani. Harga barang konsumsi naik. Sampai-sampai bikin pemilik sebuah rumah makan Padang di Bogor harus mengerek harga paket nasi padang dari Rp10.000 menjadi Rp12.000.
“Maaf harga nasi padang mengalami perubahan, karena harga-harga barang naik.”