Bisnis.com, JAKARTA - Pada 2022, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir terus menekan pedal gas untuk merombak jajaran pimpinan BUMN. Perombakan dilakukan dengan mengganti direksi dan komisaris dengan sosok yang dinilai layak untuk mengisi posisi tersebut.
Selain masuk dalam program transformasi BUMN, ada beberapa alasan utama pencopotan dan pengangkatan para petinggi BUMN, khususnya kepemimpinan perempuan. Erick menargetkan pada 2023 kepemimpinan perempuan di BUMN akan mencapai 25 persen. Hal ini bertujuan untuk memberikan spotlight kepada para profesional perempuan di BUMN untuk mewujudkan kinerja yang lebih cemerlang.
Kendati bertujuan positif, perombakan ini semestinya tetap diisi oleh sosok yang berintegritas tinggi. Integritas merupakan sikap yang sering dipersyaratkan ketika perusahaan membuka lowongan untuk mengisi jabatan di perusahaan tersebut. Integritas identik dengan kejujuran, jadi apabila seseorang dikatakan memiliki integritas berarti orang tersebut jujur.
Lantas, mengapa perusahaan membutuhkan pemimpin yang berintegritas untuk menjalankan perusahaan?
Merujuk pada studi dari Nieuwenburg (2002) yang terbit di Australasian Journal of Philosophy, istilah “integritas” berasal dari Bahasa Latin intengere yang berarti “tak tersentuh”. Istilah ini merujuk kepada seseorang yang tidak terkontaminasi dengan sesuatu yang buruk.
Dalam konteks perusahaan, integritas merupakan hal penting bagi pengelola perusahaan. Jika manajemen perusahaan memiliki profesionalisme dan integritas yang tinggi, serta fokus pada bisnis, maka perusahaan akan tumbuh dengan baik.
Baca Juga
Sebaliknya, jika seorang pemimpin tidak memiliki integritas, maka akan menimbulkan fraud di perusahaan. Kasus dugaan suap antar-BUMN, yakni PT Angkasa Pura II (PT AP II) dan PT Industri Telekomunikasi Indonesia (PT INTI) pada 2019, menjadi salah satu contoh nyata kurangnya integritas pimpinan BUMN.
Dalam kasus tersebut, Darman Mappanggara selaku Direktur Utama PT INTI melalui Taswin Nur didakwa memberikan suap kepada Andra Agussalam selaku Direktur Keuangan PT AP II sebesar SG$96.700 atau sekitar Rp994.000.000. Uang itu sebagai imbalan untuk “mengawal” proyek pengadaan baggage handling system (BHS) di enam bandara yang dikelola PT AP II.
Meski tindakan tersebut murni inisiatif pribadi, tetapi perilaku tersebut menyimpang dari prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG). Dengan kata lain, perilaku tersebut mencerminkan seorang pemimpin yang kurang berintegritas.
Kasus di atas menunjukan pentingnya integritas dalam mengatasi persoalan fraud di perusahaan. Sistem yang sudah dibangun di perusahaan tidak akan berjalan dengan baik jika diterapkan oleh pemimpin yang kurang berintegritas. Hal ini karena pemimpin yang tidak berintegritas akan mampu memanipulasi sistem tersebut.
KETELADANAN
Salah satu gaya kepemimpinan yang memberikan teladan adalah gaya kepemimpinan Ignasius Jonan saat menjadi Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Dalam memimpin PT KAI, Jonan menempatkan dirinya sebagai pemimpin yang memberikan teladan bagi bawahannya. Hal ini bertujuan agar bawahannya mampu mengerjakan dan mengikuti arahan untuk mencapai tujuan perusahaan.
Selain itu, jika dilihat dari perubahan mendasar dan kemampuan Jonan dalam menginspirasi dan memotivasi, gaya kepemimpinannya juga dapat dikategorikan sebagai kepemimpinan transformasional. Hal ini terlihat dari perubahan wajah pelayanan PT KAI menjadi lebih baik dari sisi manajemen, sistem teknologi, dan sumber daya manusia.
Pada prinsipnya, kepemimpinan transformasional bersifat kharismatik dan mampu menginspirasi atau memotivasi bawahan untuk mengatasi masalah guna mencapai tujuan perusahaan. Dalam hal ini, Jonan menjadi sosok pemimpin inspiratif yang bisa menjadi role model bagi pimpinan BUMN lainnya.
Fenomena di atas menunjukan bahwa faktor kepemimpinan, terutama keteladanan pemimpin, menjadi unsur penting dalam keberhasilan perusahaan. Dalam hal ini, pemimpin harus menjadi contoh bagi bawahannya agar dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan perusahaan.
Transformasi BUMN menjadi perusahaan yang akuntabel, profesional, dan berdaya saing membutuhkan transformasi human capital. Salah satu faktor penting dalam transformasi human capital adalah kepemimpinan. Oleh karena itu, pimpinan BUMN haruslah sosok yang memiliki kapasitas, kapabilitas, dan integritas yang tinggi.
Selain itu, pimpinan BUMN juga harus menjadi teladan dalam menginternalisasikan nilai-nilai utama budaya perusahaan yang selaras dengan prinsip-prinsip GCG. Dengan demikian, BUMN akan dipimpin oleh pemimpin yang andal, memiliki effort, dan daya juang. Dalam hal ini, figur pemimpin yang memiliki sense of crisis dan sense of belonging terhadap BUMN yang dipimpinnya.