Bisnis.com, JAKARTA — Risiko terjadinya resesi ekonomi di Amerika Serikat (AS) semakin tinggi dan tingkat inflasi di negara itu diperkirakan sulit untuk dikembalikan ke level 2 persen dalam waktu yang singkat.
Presiden Federal Reserve Bank of Cleveland Loretta Mester menyampaikan bahwa dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk menurunkan inflasi ke tingkat 2 persen.
Dia mengatakan, langkah bank sentral yang terlambat untuk menaikkan suku bunga acuan pun akan membahayakan perekonomian.
Pada pertemuan FOMC terakhir, the Fed telah menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin. Diperkirakan, suku bunga akan kembali dinaikkan hingga ke level 3,4 persen pada akhir tahun ini.
Sebelumnya, dalam wawancaranya bersama dengan Associated Press (AS) yang dikutip dari Bloomberg, Presiden AS Joe Biden pun menyatakan bahwa resesi ekonomi kemungkinan saja bisa terjadi dan tidak terhindarkan.
Dia mengatakan, AS dalam posisi yang lebih kuat daripada negara manapun di dunia untuk mengatasi inflasi, namun demikian resesi AS tidak bisa dihindari
Baca Juga
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia, resesi di AS tentunya akan memberikan spillover ke negara lain, terutama negara berkembang, termasuk Indonesia.
Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan bahwa risiko pertama yang terjadi, yaitu keluarnya aliran modal asing di pasar surat utang domestik.
Hal ini dikarenakan penyesuaian tingkat imbal hasil (yield) US Treasury dengan kenaikan suku bunga the Fed, sehingga spread antara yield US Treasury dan yield SBN di tenor yang sama semakin menyempit.
“Investor asing cenderung mengalihkan dana ke negara maju, memicu capital outflow di emerging market,” katanya kepada Bisnis, Senin (20/6/2022).
Kedua, likuiditas di pasar semakin menyempit akibat terjadinya perebutan dana antara pemerintah dan perbankan. Di satu sisi, perbankan membutuhkan likuiditas untuk mengejar pertumbuhan kredit yang sempat melndai di tengah pandemi Covid-19.
Di sisi lain, pemerintah harus menjaga tingkat pembiayaan untuk mengembalikan defisit anggaran ke bawah 3 persen, sehingga akan memicu dana deposan domestik berpindah ke instrumen Surat berharha Negara (SBN).
“Crowding out sangat membahayakan kondisi likuiditas di sektor keuangan,” kata Bhima.
Ketiga, dia mengatakan kenaikan suku bunga the Fed rentan diikuti oleh kenaikan tingkat suku bunga di negara berkembang. Sementara itu, tidak semua konsumen dan pelaku usaha siap menghadapi kenaikan suku bunga pinjaman.
“Imbasnya proyeksi permintaan konsumen rumah tangga bisa kembali menurun dan pelaku usaha akan terganggu rencana ekspansinya,” jelasnya.
Keempat, dikhawatirkan terjadi imported inflation sebagai akibat dari melonjaknya biaya impor bahan baku dan barang konsumsi. Situasi ini dipicu pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Beban biaya produksi terutama bagi perusahaan yang bahan bakunya bergantung pada impor dapat berisiko melemahkan PMI manufaktur,” jelas Bhima.