Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal atau Ditjen Pajak Kementerian Keuangan mengklaim adanya peningkatan tajam jumlah peserta program pengungkapan sukarela atau PPS menjelang batas waktu pendaftaran.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Neilmaldrin Noor menyebut bahwa pada Juni 2022 terjadi peningkatan pesat peserta PPS dari bulan-bulan sebelumnya. Pasalnya, bulan Juni ini merupakan bulan terakhir peserta PPS dapat mengikuti program tersebut.
“Di sisa 15 hari terakhir dari PPS, kami melihat adanya tren realisasi yang melonjak tinggi. Jumlah peserta misalnya, dari rata-rata pada bulan Januari sampai dengan Mei yang hanya sekitar 11.000 wajib pajak, pada 15 hari awal bulan Juni saja sudah ada 32.000 wajib pajak yang ikut,” kata Neil pada Kamis (16/6/2022).
Terdapat 8.389 wajib pajak yang mendaftar pada Januari, 7.881 pada Februari, 14.294 pada Maret, 9.424 pada April, dan 16.185 pada Mei. Ditambah 32.157 wajib pajak pada 15 hari pertama Juni 2022, total peserta PPS hingga Rabu (15/6/2022) pukul 16.00 WIB mencapai 88.330 orang.
“Apabila dicermati, tren kenaikan signifikan data PPS pertama terjadi pada Maret, bertepatan dengan setelah kami kirimkan imbauan via e-mail ke wajib pajak dan sosialisasi yang semakin sering. Kemudian, tren sempat turun pada April hingga sekarang naik lagi menjelang berakhirnya program ini,” ujar Neil.
Sementara itu, total nilai harta bersih dan perolehan pajak penghasilan (PPh) mencatatkan tren penambahan setiap bulannya. Pengumpulan per bulan menjadi lebih tinggi menjelang berakhirnya PPS.
Baca Juga
Neil menyebut bahwa total nilai harta bersih pada 15 hari pertama Juni 2022 bahkan tumbuh 304 persen dari nilai rata-rata Januari sampai dengan Mei. Nilai rata-rata dalam lima bulan terakhir adalah Rp20,7 triliun, sedangkan nilai harta bersih di 15 hari pertama Juni telah mencapai Rp83,6 triliun.
Harta terkumpul pada Januari mencapai Rp5,9 triliun, lalu Rp9,2 triliun pada Februari, Rp27,6 triliun pada Maret, Rp23 triliun pada April, Rp37,6 triliun pada Mei, dan Rp89,3 pada bulan berjalan ini. Total nilai harta bersih tercatat telah mencapai Rp192,6 triliun.
Sementara itu, realisasi per bulan dari PPh yang disetorkan yaitu Rp653 miliar pada Januari, Rp947 miliar pada Februari, Rp2,8 triliun pada Maret, Rp2,3 triliun pada April, dan Rp3,7 triliun pada Mei 2022.
Perolehan PPh dari PPS sepanjang bulan berjalan telah mencapai Rp8,8 triliun. Total PPh yang diperoleh pemerintah sejauh ini telah mencapai Rp19,2 triliun.
Menurut Neil, evaluasi secara menyeluruh dari PPS akan dilakukan setelah periode berakhir. PPS berlangsung selama enam bulan, yakni sejak 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022 atau tersisa 14 hari lagi.
Menurutnya, Ditjen Pajak mengharapkan partisipasi dari seluruh wajib pajak di sisa waktu periode PPS. Neil menyebut bahwa peserta akan memperoleh banyak manfaat dari PPS, di antaranya tidak terdapat penerbitan ketetapan untuk tahun pajak 2016 sampai 2020, terhindar dari sanksi 200 persen UU Pengampunan Pajak, serta data harta yang diungkap tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan atau penuntutan pidana.
“Kepada wajib pajak, kami imbau agar segera memanfaatkan program ini mumpung masih ada kesempatan,” ujar Neil.
TANTANGAN REPATRIASI
Total aset peserta PPS—yang sering disebut 'tax amnesty jilid II'—terdiri dari Rp170,7 triliun deklarasi dalam negeri dan repatriasi, serta Rp15,35 triliun deklarasi luar negeri. Selain itu, terdapat harta yang akan diinvestasikan oleh peserta.
"Nilai investasi [dari total harta peserta PPS per 16 Juni 2022] Rp9,8 triliun," dikutip dari situs resmi Ditjen Pajak pada Kamis (16/6/2022).
Nilai investasi peserta PPS itu tercatat baru sekitar 5 persen dari total harta yang dideklarasikan. Nilai investasi itu pun baru berupa komitmen, tidak berarti langsung terealisasi sebagai investasi.
Peserta PPS memiliki pilihan untuk menempatkan investasinya di surat utang negara (SUN) atau secara langsung ke perusahaan yang bergerak di bidang hilirisasi sumber daya alam atau energi baru dan terbarukan (EBT).
Pada 4 Maret 2022 telah berlangsung setelmen atas investasi tahap pertama dana PPS di dua instrumen. Dari penerbitan SUN FR0094 diperoleh Rp46,35 miliar dan SUN USDFR0003 senilai US$650.000.
Pada 25 Maret 2022 pemerintah melakukan private placement dana investasi PPS ke instrumen surat berharga syariah negara (SBSN) atau sukuk PBS035 senilai Rp25,6 miliar. Lalu, pada 21 April 2022 pemerintah menerbitkan SUN FR0094 dan SUN USDFR0003, dengan perolehan masing-masing Rp351,16 miliar dan US$5,33 juta.
Pada 31 Mei 2022, pemerintah melakukan private placement SBSN PBS-035 senilai Rp109,68 miliar. Total penerbitan investasi sejauh ini pun mencapai Rp532,7 miliar untuk SUN denominasi rupiah dan sukuk, serta US$5,98 juta untuk SUN denominasi dolar atau sekitar Rp86 miliar (asumsi kurs Rp14.400).
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa wajib pajak peserta PPS memiliki banyak pertimbangan untuk melakukan repatriasi, hingga kemudian berinvestasi. Wajar jika kemudian nilai repatriasi lebih rendah dari pengungkapan harta di luar negeri, meskipun mereka akan memperoleh tarif pajak lebih besar jika tak menarik hartanya.
Alasan pertama, menurut Fajry, adalah jika para peserta PPS memiliki aset tidak likuid di luar negeri, seperti properti. Jika demikian, menurutnya, hampir dipastikan bahwa peserta PPS itu hanya akan melakukan deklarasi luar negeri atau tidak melakukan repatriasi.
"Mengapa demikian? Properti tidak bisa direpatriasi dan kalaupun mau, wajib pajak harus menjualnya dahulu. Tentunya, wajib pajak akan mengalami kerugian atau menjual lebih murah jika harus menjual propertinya secara cepat [karena tenggat waktu PPS]," ujar Fajry.
Kedua, Fajry menjelaskan bahwa terdapat studi yang mengungkapkan bahwa orang kaya menaruh uangnya di tax haven lebih karena pertimbangan risiko, bukan imbal hasil (return). Tak heran jika kemudian ada peserta PPS yang menginginkan hartanya tetap berada di negara tax haven dan cukup mengungkapkannya saja kepada pemerintah.
"Bagi mereka itu 'yang penting aman', jadi mereka rela membayar tarif [PPS] lebih besar asal uang mereka berada di-tempat yang 'aman'. Risiko berinvestasi di Indonesia menentukan, mungkin mereka melihat risiko di Indonesia lebih besar dibandingkan negara tax haven," katanya.
Ketiga, repatriasi membutuhkan proses. Fajry menilai bahwa berdasarkan pengalaman tax amnesty pada 2016—2017, proses repatriasi tidak semudah dibayangkan, sehingga wajib pajak yang tidak ingin 'ribet' akan lebih memilih deklarasi luar negeri saja.