Bisnis.com, JAKARTA — PT Pertamina (Persero) membukukan laba bersih atau net profit mencapai US$2,05 miliar atau setara dengan Rp29,69 triliun pada tahun anggaran 2021. Torehan laba bersih perusahaan pelat merah itu naik sebesar 95 persen dari capaian pada 2020 di posisi US$1,05 miliar atau setara dengan Rp15,2 triliun.
Pembukuan laba bersih itu sudah disepakati oleh pemegang saham lewat Rapat umum Pemegang Saham (RUPS) Tahun Buku 2021 yang berlangsung pada Rabu (8/6/2022). Adapun kinerja keuangan Pertamina itu sudah melampaui catatan pada masa sebelum pandemi.
“Alhamdullilah, RUPS tadi pagi kita membukukan peningkatan revenue yang profitnya hampir dua kali lipat dari tahun lalu, kita mencatat Rp29 triliun keuntungan bersih kita,” kata Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati saat Gathering Pemimpin Redaksi Media, Rabu (9/6/2022) malam.
Adapun, pendapatan Pertamina pada 2021 berhasil menyentuh di angka US$57,51 miliar setara dengan Rp832,97 triliun. Torehan itu naik 39 persen dari capaian 2020 di posisi US$41,47 miliar setara dengan Rp600,65 triliun. Pada 2020, asumsi rata-rata harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia crude price (ICP) dipatok sebesar US$40 per barel. Sementara, harga ICP pada tahun berikutnya naik mencapai US$68 per barel.
Artinya terjadi kenaikan rata-rata ICP sebesar 71 persen selama kurun waktu satu tahun. Hal itu menyebabkan arus kas operasional atau operating cash flow Pertamina cenderung menurunkan lantaran tidak elastis dengan kenaikan ICP yang relatif bergerak signifikan tersebut.
Di sisi lain, Pertamina membukukan pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi atau EBITDA operasional sebesar US$9,45 miliar setara dengan Rp136,8 triliun. Pencatatan itu naik 19 persen dari posisi 2020 di angka US$7,95 miliar atau setara dengan 115,1 triliun. EBITDA itu sudah turut memasuki komponen kompensasi harga jual eceran Jenis BBM Tertentu (JBT) solar dan Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite.
Baca Juga
“Tahun lalu kontributor terbesar untuk profit itu dari sektor hulu saat itu target ICP US$40 per barel di APBN dan RKAP kita, maka rata-rata ICP di 2021 itu adalah US$68 per barel dari sanalah kita kemudian mendapatkan windfall sekalian produksi kita juga meningkat,” kata dia.
Kendati demikian, dia menerangkan, laba bersih yang cukup lebar itu mesti tetap dialihkan untuk menutupi beban subsidi dan kompensasi yang mesti ditanggung akibat konsekuensi harga minyak mentah dunia yang masih melanjutkan tren kenaikan harga hingga pertengahan tahun ini.
Menurut dia, Pertamina tidak dapat berfokus untuk meningkatkan target raihan laba bersih tahun ini di tengah disrupsi dan reli kenaikan harga minyak mentah dunia. Dia menegaskan perseroan bakal tetap memprioritaskan ketersediaan energi yang terjangkau bagi masyarakat.
“Pertamina juga ada beban di hilir penyesuaian harga kita bertahan lama, tarik nafasnya lama. Itu lah keunggulan Pertamina karena integrated dari hulu ke hilir sehingga kita bisa subsidi silang, karena kalau harga BBM kita naikan maka terjadi inflasi,” tuturnya.
Seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (6/6/2022), pertemuan OPEC+ sebelumnya dinilai gagal meredakan kekhawatiran pasar sehingga potensi defisit pasokan minyak terus melebar, sehingga pada akhir pekan Jumat (3/6/2022) harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) sudah naik secara mingguan sebesar 3,3 persen sehingga berada di atas US$118.
Sementara itu, pertumbuhan lapangan kerja di AS melampaui perkiraan, menandakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan yang akan meningkatkan permintaan untuk produk mentah dan olahan.
"Harga minyak mentah tetap berpotensi naik, karena pedagang sektor energi menerima dampak dari pertemuan OPEC+. Oleh sebab itu, pasar minyak akan tetap dijaga ketat sepanjang musim panas ini," kata Ed Moya, analis pasar senior Oanda, dikutip pada Bloomberg, Senin (6/6/2022).
Lebih lanjut, pertemuan OPEC+ lalu menyetujui kenaikan produksi 648.000 barel per hari untuk bulan Juli dan Agustus, yaitu sekitar 50 persen lebih besar dari kenaikan yang terlihat dalam beberapa bulan terakhir. Artinya kelompok tersebut akan menambahkan minyak mentah sekitar 400.000 barel per hari selama dua bulan di atas kenaikan sederhana yang telah disepakati.
Namun, keraguan tetap membayangi apakah produsen minyak tersebut mampu memenuhi kenaikan produksi tersebut mengingat banyak anggota yang mengalami kesulitan meningkatkan hasil produksi. Pada catatan keputusan OPEC+ tersebut, dalam praktiknya, setiap hari akan ada tambahan 132.000 barel per hari setiap bulan dari produksi tambahan yang berasal dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Irak, Citigroup Inc.