Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan lonjakan inflasi yang terjadi secara global merupakan ancaman yang serius dan perlu direspons melalui kebijakan yang tepat.
Pasalnya, dunia akan dihadapkan pada ancaman stagflasi, di mana terjadi kenaikan inflasi yang ekstrem dan disertai dengan kenaikan suku bunga yang ketat dan tinggi, serta pertumbuhan ekonomi yang terancam melambat.
Sri Mulyani mengatakan, lonjakan harga komoditas telah dirasakan banyak negara. Inflasi pun melonjak, misalnya di Brazil telah mencapai 12 persen, Amerika Serikat (AS) 8,3 persen, dan Inggris mencapai 9,0 persen.
Tingkat inflasi di negara emerging markets pun melonjak tinggi, misalnya di Mexico, Afrika Selatan, Korea Selatan, dan India.
Sri Mulyani mengatakan, kenaikan inflasi, terutama di negara maju harus diwaspadai. Dia juga menyampaikan, kenaikan inflasi ekstrem pernah terjadi di AS sebelumnya dan harus direspons dengan kenaikan suku bunga acuan the Fed (Fed Funds Rate/FFR).
Misalnya, pada 1974 tingkat inflasi AS sempat mencapai 13 persen saat terjadi perang Yom Kippur. Akibat inflasi yang tinggi, pertumbuhan ekonomi AS kemudian mengalami resesi dengan mencatatkan pertumbuhan -0,5 persen pada 1974 dan dilanjutkan pertumbuhan -0,2 persen pada 1975.
Baca Juga
Selanjutnya pada 1980, saat terjadi peristiwa oil glut dan perang Iran—Iraq, inflasi AS melonjak ke level 14,8 persen. Kenaikan inflasi ini direspon dengan kenaikan FFR hingga 20 persen.
“Sehingga yang terjadi inflasi, kemudian memang dapat dikendalikan 1-2 tahun kedepannya, tapi pertumbuhan ekonomi AS mengalami resesi -0,2 persen pada 1980 dan -1,9 pada 1982. Jadi inflasi ini tidak sekedar harga tinggi, respons kebijakannya bisa ancam kinerja ekonomi,” katanya dalam Raker bersama Komisi XI DPR R, Selasa (31/5/2022).
Sri Mulyani melanjutkan, kejadian yang sama terulang pada tahun 1990, di mana inflasi AS naik ke level 6,3 persen dan FFR naik hingga ke level 9,75 persen. Kemudian, ekonomi AS mengalami resesi dengan pertumbuhan ekonomi -0,1 persen pada 1991.
“Hal seperti ini akan menjadi lingkungan yang harus kita waspadai untuk semester II/2022 hingga 2023, kenaikan inflasi dan suku bunga sudah terlihat pada yield US Treasury yang juga mengalami kenaikan sempat di atas 3 persen meski sudah turun lagi ke level 2,75 persen,” kata Sri Mulyani.