Bisnis.com, JAKARTA - Perang Ukraina dan Rusia yang dibarengi dengan sanksi ekonomi telah menyebabkan disrupsi pada sisi supply, terutama untuk energi dan pangan yang efeknya menyebar ke seluruh dunia.
Ini kemudian menimbulkan lonjakan tekanan inflasi yang tinggi dari komoditas-komoditas yang sangat penting, diikuti dengan pengetatan kebijakan moneter.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, apabila sebuah negara tak memiliki shock absorber, maka kenaikan harga-harga komoditas langsung di pass through ke masyarakat.
"Jadi begitu gas naik, batu bara naik, di negara-negara yang tidak melakukan administered price, rumah tangga langsung merasakan kenaikan dari tagihan listrik, waktu mengisi bensin dan yang lain. Demikian juga gandum, jagung dan grain," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Badan Anggaran dengan Pemerintah dan Bank Indonesia, Selasa (31/5/2022).
Sehingga kata dia, ini akan menimbulkan inflasi yang sangat besar di berbagai negara lantaran tak memiliki mekanisme shock absorber atau administered price terhadap harga komoditas-komoditas ini.
"Ini apakah mereka tidak memiliki mekanisme administered price, artinya barang-barang ini tidak diatur pemerintah sehingga begitu harga dunia naik maka langsung naik di pasar domestiknya. Atau mereka punya administered price namun kemampuan fiskalnya utk menahan kenaikan harga dalam bentuk kenaikan subsidi tidak ada. Artinya APBN mereka sudah tidak memiliki space," jelas dia.
Shock absorber merujuk pada komponen mobil yang berfungsi menahan guncangan atau penstabil. Pada instrumen keuangan pemerintah, yang bertindak sebagai shock absorber adalah anggaran pendapatan belanja negara (APBN).
Sedangkan administered price adalah pengaturan harga barang dan jasa oleh pemerintah. Dalam kasus Indonesia beberapa barang yang ditetapkan harganya seperti bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, listrik, hingga harga gula.
Jika negara-negara tersebut berada di posisi kedua, maka kata Sri Mulyani, negara tersebut biasanya akan mengalami krisis ekonomi seperti yang terjadi di Sri Lanka.
Sehingga, ketika terjadi lonjakan dari harga komoditas tersebut, banyak negara tak mampu menahannya sehingga inflasi di negara-negara tersebut melonjak tinggi.
Berdasarkan data yang dibagikan Sri Mulyani, harga-harga komoditas energi dan pangan mengalami peningkatan.
Harga natural gas year-to-date/ytd naik 143 persen, batubara naik 137,6 persen, dan minyak bumi naik 51,8 persen dari awal tahun hingga sekarang,
Demikian halnya CPO yang mengalami kenaikan 27 persen dari Januari, gandum naik 50 persen, jagung 28,9 persen, kedelai 27,8 persen dan grain 17,8 persen.
Komoditas-komoditas ini merupakan bagian terpenting karena menyangkut bahan makanan dan energi di seluruh dunia, sehingga kata Sri Mulyani sudah pasti memunculkan tekanan inflasi dengan adanya kenaikan harga komoditas tersebut.