Bisnis.com, JAKARTA — Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan pihaknya tengah mempelajari laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dengan potensi kerugian negara dari bagi hasil hulu minyak dan gas (Migas), pelaksanaan proyek dan rantai pasok antara pemerintah dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan lembagannya masih meninjau kembali laporan yang disampaikan oleh BPK yang termuat dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2021 yang disahkan Ketua BPK Agung Firman Sampurna pada Maret 2022.
“Saya coba periksa dulu ya, kebetulan saya sedang di luar kota,” kata Dwi melalui pesan singkat, Rabu (25/5/2022).
Kendati demikian, Dwi menggarisbawahi, prinsip bagi hasil antara SKK Migas dan KKKS selalu mengikuti ketentuan awal yang tertera pada production sharing contract (PSC) atau kontrak kerja sama.
“Tapi pada prinsip bagi hasil mengikuti kontraknya. Kalau ada over atau under lifting setelah hitungan final, diselesaikan sesuai kewajiban masing-masing,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, BPK menemukan adanya permasalahan yang serius atas perhitungan bagi hasil minyak dan gas (Migas), pelaksanaan proyek dan rantai pasok antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) bersama dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
BPK melaporkan terdapat 36 temuan yang memuat 50 permasalahan antara SKK Migas dan KKKS terkait dengan perhitungan bagi hasil Migas, pelaksanaan proyek dan rantai pasok. Malahan, BPK mencatat, terdapat 31 ketidakpatuhan sebesar US$20,10 juta dan Rp13,18 miliar atau ekuivalen dengan Rp300,67 miliar selama 2018 hingga 2020 terkait dengan kegiatan bagi hasil Migas.
Laporan itu tertuang dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2021 yang disahkan Ketua BPK Agung Firman Sampurna pada Maret 2022.
“Secara keseluruhan hasil pemeriksaan atas perhitungan bagi hasil migas, pelaksanaan proyek dan rantai suplai pada SKK Migas mengungkapkan 36 temuan yang memuat 50 permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi 18 kelemahan SPI, 31 ketidakpatuhan sebesar US$20,10 juta dan Rp13,86 miliar atau total ekuivalen Rp300,67 miliar, dan 1 permasalahan 3E,” tulis Agung dalam IHPS seperti dikutip Rabu (25/5/2022).
BPK menyoroti ketidakpatuhan terhadap production sharing contract (PSC) antara SKK Migas dengan KKKS ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) terkait dengan pembayaran DMO fee yang menyalahi kontrak kerjasama.
PSC antara SKK Migas dan EMCL mewajibkan KKKS memberikan 25 persen minyak bumi dalam rangka memenuhi kebutuhan minyak bumi di dalam negeri atau domestic market obligation (DMO). Dengan demikian, pemerintah membayar DMO fee kepada EMCL senilai 25 persen dari harga pasar minyak mentah atau Indonesia crude price (ICP).
Kendati demikian sesuai dengan PSC, KKKS EMCL mendapatkan fasilitas DMO holiday selama lima tahun sejak bulan pertama dilakukannya lifting. DMO holiday tersebut dalam bentuk pembayaran fee oleh pemerintah sebesar 100 persen dari harga ICP.
“Setelah periode holiday berakhir di bulan Maret 2020, dari April 2020 sampai November 2020 EMCL masih memperoleh DMO fee sebesar 100 persen karena adanya permohonan dari EMCL sebagai dokumen side letter, yang telah disetujui Kementerian ESDM,” lapor BPK.
Konsekuensinya, peluang kegiatan eksplorasi dari DMO fee sebesar US$103,61 juta atau setara dengan Rp1,51 triliun belum dilaksanakan secara optimal. Untuk itu, BPK merekomendasikan Kepala SKK Migas dan President EMCL untuk melakukan pembahasan peluang kegiatan eksplorasi sesuai dengan ketentuan dalam PSC.