Bisnis.com, JAKARTA — Sentimen negatif dari kebijakan hawkish bank sentral dan dinamika geopolitik Rusia-Ukraina yang tak kunjung usai telah mengikis optimisme pelaku pasar terhadap prospek ekonomi.
Alhasil, aliran keluar dana segar atau capital outflow di pasar modal kian deras.
Berdasarkan data Emerging Portfolio Fund Research, Inc. (EPFR) dan Bank of America Corp., capital outflow di pasar saham global pada pekan lalu mencapai US$5,2 miliar atau Rp75,92 triliun (Rp14.600/US$).
Adapun, pasar surat utang atau obligasi juga mulai ditinggalkan investor dengan catatan arus modal yang keluar mencapai US$12,3 miliar.
Aksi jual ini merupakan respons investor atas sikap hawkish bank di negara utama, serta makin memanasnya tingkat inflasi yang diyakini berpotensi melahirkan stagflasi hingga resesi ekonomi.
Meningkatnya ketidakpastian ekonomi ini mendorong pelaku pasar untuk menempatkan dananya pada instrumen investasi yang jaug lebih aman dibandingkan dengan saham atau obligasi, yakni aset dalam bentuk uang tunai maupun emas.
Baca Juga
Peneliti Goldman Sachs Group Inc. David J. Kostin mengatakan investor menilai ancaman resesi ekonomi pada tahun ini lebih besar dibandingkan dengan beberapa tahun terakhir mengingat tekanan ekonomi di sejumlah negara utama amat mengkhawatirkan.
Senada, Analis Pasar Hargreaves Lansdown Susannah Streeter mengatakan inflasi menjadi hantu yang paling ditakuti, sehingga investor memindahkan dananya ke aset yang lebih aman.
Di sisi lain, penguncian wilayah atau lockdown di China kian mengikis optimisme pelaku pasar yang sempat meyakini pemulihan ekonomi akan membaik seiring dengan dibukanya rute penerbangan internasional.
“Kekhawatiran telah menumpukdi pasar keuangan dengan investor makin cemas bahwa ekonomi akan memasuki resesi,” kata dia dilansir Bloomberg, Minggu (22/5).
Sejalan dengan maraknya aksi jual di pasar saham Amerika Serikat (AS), Indeks S&P 500 dan Nasdaq 100 terpantau masih mengalami tekanan pada pekan lalu.
Indeks saham di Negeri Paman Sam juga diprediksi berkutat pada jalur kemerosotan terendah dalam lebih dari dua dekade terakhir pada bulan-bulan mendatang.
Akar persoalan yang menjadi penyebab kondisi ini adalah hilangnya dukungan The Fed, Bank Sentral AS, yang berubah hawkish dan meningkatnya kekhawatiran terkait dengan resesi ekonomi.
Kecemasan terhadap resesi memuncak ketika otoritas moneter memprioritaskan kebijakan untuk menangkal lonjakan inflasi.
Respons yang ditempuh adalah melakukan pengetatan kebijakan moneter atau menaikkan suku bunga acuan.
Kebijakan ini dimaknai sebagai peralihan sikap bank sentral yang sebelumnya lebih pro pada pertumbuhan ekonomi ke aksi yang berfokus pada pengendalian tingkat inflasi.
“Latar belakang makro ekonomi tetap sangat tidak pasti dan bergantung pada sejumlah faktor terutama pasar energi,” kata ahli strategi UBS Group AG Sutanya Chedda.