Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengingatkan pemerintah harus mencermati risiko lonjakan beban bunga utang ketika yield dari surat berharga negara atau SBN meningkat. Pelemahan surat utang negara itu sebagai dampak ikutan bunga The Fed yang dalam tren kenaikan.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menjelaskan bahwa Indonesia akan turut menaikkan yield dari SBN ketika suku bunga di Amerika Serikat meningkat, agar surat utang itu tetap menarik bagi investor. Ketika yield naik, Tauhid meyakini arus modal yang masuk akan mengalir deras.
Meskipun begitu, Indonesia harus mewaspadai risiko tingginya beban bunga utang dari kenaikan yield tersebut. Jika kenaikan terjadi pada tahun ini, maka beban bunga utang setidaknya pada 2023 akan naik cukup signifikan.
"Sebentar lagi yield SBN naik, investor pasti kemari. Itu perlu dilihat beban utang yang tinggi, diatur, jangan sampai 2023 numpuk untuk bayar pokok dan dan bunga utangnya," ujar Tauhid kepada Bisnis, Kamis (12/5/2022).
Dia menilai bahwa pemegang modal yang akan masuk ke SBN ketika terjadi kenaikan yield adalah tipe investor jangka pendek, dengan preferensi investasi satu tahun. Pemerintah perlu mempersiapkan hal tersebut ketika hendak menyusun kebijakan dalam merespons kondisi ekonomi global.
"Katakanlah dari luar [masuk investasi] Rp300-an triliun, rata-rata pelaku investasi global kan enggak mau lama-lama, short term. Kalau terjadi capital outflow pasar SBN [karena kenaikan suku bunga The Fed] siapa yang mau beli? Sehingga suku bunga harus dinaikkan," ujarnya.
Baca Juga
Dia menilai bahwa pemerintah harus menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dengan cermat untuk meredam kenaikan inflasi dan risiko dari gejolak ekonomi global. Penerimaan melalui utang dan belanja negara perlu dikelola dengan baik, apalagi Indonesia segera melakukan konsolidasi fiskal.