Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Haula Rosdiana

Guru Besar Ilmu Kebijakan Perpajakan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI)

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Mencermati Bea Meterai Terms & Conditions Digital

Perluasan objek Bea Meterai (BM) yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 10/2020 tentang Bea Meterai (UU BM) menyebabkan kegelisahan pelaku usaha digital ekonomi khususnya terkait dengan isu Terms and Conditions (T&C).
Ilustrasi konsumen saat belanja di toko online atau e-commerce/Freepik.com
Ilustrasi konsumen saat belanja di toko online atau e-commerce/Freepik.com

Sangat dimaklumi apabila ada keresahan dari pelaku usaha e-commerce dan platform digital lainnya karena Bea Meterai (BM) akan memengaruhi cost dan cashflow karena istilah “Bea” menunjukkan bahwa BM merupakan pajak tidak langsung (NA hal 12), sehingga beban pajak dapat dialihkan.

Dengan adanya beban tambahan ini, maka pelaku usaha atau pengguna akan lebih memilih untuk bertransaksi di medsos yang besar peluangnya untuk tidak dikenakan BM.

Perluasan objek Bea Meterai (BM) yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 10/2020 tentang Bea Meterai (UU BM) menyebabkan kegelisahan pelaku usaha digital ekonomi khususnya terkait dengan isu Terms and Conditions (T&C).

Dikhawatirkan T&C akan dianggap sebagai dokumen yang bersifat perdata yang menjadi objek pemungutan BM, padahal T&C merupakan salah satu kelaziman dalam ekonomi digital yang saat ini sedang terus diupayakan berkembang bahkan meningkat.

Bahkan Presiden Joko Widodo menargetkan Indonesia bisa menguasai 40% dari potensi ekonomi Asean pada 2025 agar kontribusi ekonomi digital meningkat menjadi 18% Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2030. Saat ini kontribusinya masih berada di kisaran dari 4% PDB, sehingga presiden mengarahkan dilakukannya percepatan pengembangan ekosistem ekonomi digital, baik infrastruktur, tata kelola hingga regulasi dan sumber daya manusia (SDM).

Dalam Naskah Akademik (NA) RUU Bea Meterai, dikutip pendapat Augusto Lopez-Claros dari Bank Dunia menyatakan bahwa pembuat kebijakan harus menemukan keseimbangan yang pas antara meningkatkan penerimaan dan meyakinkan bahwa tarif pajak dan biaya kepatuhan tidak menghambat partisipasi masyarakat dalam pembayaran pajak atau tidak mengurangi minat dalam melakukan kegiatan usaha (NA, hal. 75).

Berpijak pada pendapat Claros tersebut, tentu perumusan regulasi T&C sebagai objek BM yang baru juga harus dipastikan tidak menghambat atau mendistorsi kegiatan usaha. Apalagi, banyak riset dan data menunjukkan bahwa e-commerce telah banyak membantu UMKM untuk berkembang dan bahkan bisa bertahan di tengah pandemi. Karena itu, ketidakhati-hatian dalam menjadikan T&C sebagai objek BM justru akan menambah cost of taxation meliputi compliance cost yang harus ditanggung oleh pembayar pajak dan/atau pelaku usaha; enforcement cost otoritas pajak maupun; dan policy cost, berupa trust dan legitimasi.

Sangat dimaklumi apabila ada keresahan dari pelaku usaha e-commerce dan platform digital lainnya karena BM akan memengaruhi cost dan cashflow karena istilah “Bea” menunjukkan bahwa BM merupakan pajak tidak langsung (NA hal 12), sehingga beban pajak dapat dialihkan. Dengan adanya beban tambahan ini, maka pelaku usaha atau pengguna akan lebih memilih untuk bertransaksi di medsos yang besar peluangnya untuk tidak dikenakan BM.

Ketidakselarasan dengan asas keadilan justru dapat terjadi dengan membandingkan antara marketplace dan pusat perbelanjaan konvensional. Untuk menggaet pelanggan, mal menggelar loyalty programme. Pada saat registrasi, pelanggan tidak dikenakan BM. Perbandingan ekstrem lainnya dapat dianalogikan (calon) pembeli yang baru masuk mal untuk window shopping, mereka bisa keluar masuk mal berkali kali tanpa harus membayar BM.

Sementara (calon) pembeli di platform digital sudah harus membayar BM padahal baru mengunduh aplikasi dan belum bertransaksi. Pengenaannya pun berpotensi dikenakan lebih dari satu kali dalam satu aplikasi, terlebih apabila aplikasi diunduh di perangkat yang berbeda-beda.

Kecermatan merumuskan kebijakan BM yang tepat juga harus dilihat dari asas kemanfaatan (Zweckmassigkeit) agar selaras dengan arahan pre­siden untuk mempercepat pem­bangunan ekosistem ekono­mi digital. Pengenaan BM atas T&C secara eksesif justru akan menimbulkan barrier to entry sekaligus berpotensi me­nim­bulkan persoalan baik se­cara ekonomis maupun teknis pemungutan BM.

Pengenaan BM terhadap T&C belum memenuhi asas kepastian hukum, karena browse-wrap T&C penggunaan situs e-commerce tidak memiliki under­lying transaction, melain­kan hanya berupa rambu-rambu penggunaan situs e-commerce. Syarat sahnya perjanjian berupa kesepakatan pun juga belum tentu terpenuhi, karena browse-wrap tidak memiliki fitur “I Accept”.

Pemungutan BM secara masif kepada seluruh T&C juga akan menghambat customer acquisition/merchant onboarding process sehingga menjadi kontra produktif terhadap tujuan pemerataan ekonomi secara digital.

Untuk itu, Langkah terbaik adalah dengan menerapkan secara terbatas pemungutan BM atas transaksi ekonomi digital, dengan menggunakan threshold policy, yaitu terbatas pada dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5 juta yang menyebutkan penerimaan uang; atau berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan.

Sebagaimana dua fungsi utama pajak, kebijakan pajak sebagai social, economic and political engineering juga sama pentingnya sebagai instrumen penerimaan negara. Keduanya bukan merupakan fungsi yang dikotomis melainkan berkelindan dan saling interdepensi satu dan lainnya.

Karena itulah, argumentasi equal treatment seyogianya tidak diletakkan dengan kacamata kuda sehingga menyeragamkan dan memberlakukan T&C sebagai objek BM secara menyeluruh dengan tarif yang berlaku umum. Karena itu, diperlukan kebijakan relaksasi dengan tiga cara.

Pertama, pembatasan ruang ling­kup (scope) jenis T&C yang dijadikan objek BM. Ke­­dua, pe­nundaan saat terutang­nya BM yaitu saat menjadi do­­ku­­men yang digunakan se­­ba­­gai alat bukti di pengadil­­an. Ketiga, tarif yang lebih ren­dah (0%). Ketiga alternatif ke­­bi­jak­an ini akan mendukung percepatan ekosistem di­gi­tal yang berkelanjutan dan janji politik Presiden Jokowi untuk menyejahterakan rakyat melalui kenaikan kontribusi ekonomi digital terhadap perekonomian nasional.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper