Bisnis.com, JAKARTA - Perjanjian perdagangan bebas Asean-Hong Kong yang mulai berlaku sejak tahun lalu mendatangkan kekhawatiran bagi pengusaha kaca bahwa pasar dalam negeri bisa dibanjiri barang impor. Hal itu terutama di tengah daya dukung yang belum merata untuk semua pelaku industri.
Penetapan tarif bea masuk dalam perjanjian perdagangan tersebut diteken melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.49/2022.
Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan mengatakan ketahanan industri kaca lembaran terhadap produk impor bergantung pada konsistensi kebijakan pemerintah, salah satunya penerapan harga gas bumi tertentu US$6 per MMBTU.
"Impor dari Asean dan Hong Kong berlangsung sudah lama, namun dikhawatirkan akan melonjak dengan adanya PMK 49/2022 ini," kata Yustinus kepada Bisnis, Rabu (20/4/2022).
Yustinus kembali menekankan bahwa alokasi harga gas bumi tertentu (HGBT) hendaknya tetap mengacu pada Keputusan Menteri ESDM No.134/2021. Sejauh ini pelaku usaha di Jawa bagian timur masih mengalami kendala pasokan dan alokasi gas.
Selain itu, dia juga menuntut pengawasan ketat dalam pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) kaca secara wajib, baik untuk kaca lembaran, cermin, dan pengaman untuk kendaraan bermotor.
Baca Juga
"Serta sesegera mungkin memberlakukan SNI wajib diantaranya untuk kaca isolasi dan kaca pengaman untuk bangunan," katanya.
Dia juga menggarisbawahi tarif listrik di kawasan industri yang lebih tinggi daripada di luar kawasan industri. Menurutnya, hal ini kontra produktif dengan upaya pemerintah mendorong investasi masuk ke kawasan industri.
"Perusahaan dalam kawasan industri berdaya saing lebih rendah dibandingkan dengan yang di luar kawasan, terjadi diskriminasi tarif listrik disebabkan regulasi," katanya.