Bisnis.com, JAKARTA - Impitan inflasi pangan di berbagai dunia semakin mencengkeram ekonomi global, terutama di negara berkembang. Hal ini juga diperparah dengan peperangan di Ukraina.
Dilansir Bloomberg pada Sabtu (9/4/2022), harga bahan pokok semakin terkerek seiring dengan peperangan Rusia di Ukraina sebagai eksportir komoditas utama seperti gandum. Tingginya harga energi juga berkontribusi pada tekanan inflasi.
Di Sri Lanka, harga konsumen terakselerasi sekitar 19 persen, tertinggi di Asia. Bahkan kenaikan diperkirakan bisa berlanjut hingga 25 persen.
Bank sentral baru saja menaikkan suku bunga hingga 7 persen, sebuah langkah yang belum pernah diambil sebelumnya. Kondisi itu mengundang demonstrasi di jalanan, meminta presiden mundur.
Sementara itu, bank sentral Pakistan juga memutuskan kenaikan suku bunga ke level tertinggi sejak 1996, yakni 250 basis poin setelah melakukan pertemuan darurat. Naiknya harga minyak langsung memicu krisis ekonomi dan politik di negara itu.
Ketegangan politik tereskalasi setelah suku bunga acuan Pakistan mencapai 12,25 persen. Beberapa negara berkembang lainnya seperti Peru, Uruguay, Romania, Polandia dan Serbia juga mulai beralih ke pengetatan kebijakan.
Baca Juga
Harga pangan global seperti gandum dan minyak goreng terus meningkat seiring perang Rusia di Ukraina.
Sebanyak lebih dari 15 juta ton jagung dari panen musim gugur lalu masih memenuhi tempat penyimpanan silo di sepanjang jalur pertanian Ukraina.
Distribusi panen yang semakin sulit dilakukan akibat perang telah mengguncang perdagangan biji-bijian global senilai sekitar US$120 miliar.
Inflasi Turki pada Maret melonjak ke level tertinggi dalam dua dekade terakhir, membuat lira semakin rentan terhadap aksi jual pasar.
Kebijakan moneter ultra longgar Turki kontras dengan meningkatnya sikap hawkish dari banyak bank sentral dunia pada saat ekonominya bersiap menghadapi guncangan komoditas yang dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina.
Harga gas alam kembali baik setelah 5 hari turun di tengah kekhawatiran aliran gas Rusia melalui negara transit di Ukraina bakal terganggu. Operator Sistem Transmisi Gas Ukraina mengatakan operasi militer Rusia meningkatkan risiko terhadap aliran gas Eropa.
Hal ini juga memukul proyeksi pertumbuhan Jerman sebagai ekonomi terbesar di Eropa, menyusul keputusan untuk bergegas meninggalkan bahan bakar dari Rusia.
Sementara itu, Kanselir Jerman Olaf Scholz menentang seruan anggota dewan yang menginginkan penundaan penutupan reaktor nuklir untuk mengurangi ketergantungan energi pada Rusia.
"Kami memutuskan untuk alasan yang menurut saya sangat baik dan benar sehingga kami ingin menghapus [nuklir] secara bertahap," kata Scholz, yang pernah menjadi menteri keuangan dan wakil rektor di bawah Angela Merkel di depan majelis rendah parlemen di Berlin pada Rabu.