Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dinilai lamban melakukan upaya penghiliran batu bara hingga kini harga komoditas tersebut melambung tinggi.
Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan dengan harga domestic market obligation (DMO) US$90 per metrik ton pun, output dari gasifikasi batu bara akan lebih mahal dibandingkan bahan baku petrokimia berbasis Nafta dan refinery.
"Pemerintah kan telat, itu kan harusnya diambil lima tahun lalu. Sudah jadi bubur ya, tunggu sampai harga [batu bara] turun," katanya kepada Bisnis, Jumat (8/4/2022).
Fajar melanjutkan, jika proyek gasifikasi ini dimulai lima tahun lalu, maka industri sudah memiliki daya tawar yang lebih tinggi dan pengalaman yang semakin baik.
Dia pun menilai, agar output gasifikasi lebih efisien, harga batu bara harus berada di angka US$40 hingga US$50 per metrik ton.
Di saat kondisi harga batu bara tengah melambung, otomatis kebanyakan komoditas akan lari ke pasar ekspor dengan harga yang lebih tinggi. Di dalam negeri, batu bara untuk sejumlah sektor industri saja masih terbatas pasokannya.
Baca Juga
"Gasifikasi batu bara itu sudah lama, dari 10 tahun yang lalu [trennya], eksekusinya 2019, tetapi sekarang ada perang Rusia-Ukraina, ya sudah, telat lagi," kata Fajar.
Menurut catatan Kementerian ESDM, rencana kebutuhan batu bara dalam negeri sepanjang tahun ini sebesar 165,75 juta ton. Alokasi terbesar untuk listrik PLN sebesar 127 juta ton.
Sisanya mengalir ke industri smelter, pupuk, semen, tekstil, kertas, industri kimia lainnya, dan penghiliran batu bara.
Pada proyek penghiliran batu bara, alokasinya untuk tahun ini diperkirakan hanya 0,7 juta ton dan akan meningkat menjadi 1,15 juta ton pada 2023 dan 2024, kemudian melonjak menjadi 11,8 juta ton pada 2025.