Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Top 5 News Bisnisindonesia.id: Harga Pertamax Naik, Pertalite Mulai Langka Hingga Bola Panas Mafia Minyak Goreng

Selang beberapa waktu saja setelah ditetapkkan sebagai BBM jenis bahan bakar khusus penugasan atau JBKP menggantikan Premium, Pertalite juga ikut menghilang secara perlahan di sejumlah SPBU, seperti halnya yang terjadi pada Solar subsidi.
Pengendara mengisi bahan bakar di SPBU, di Jakarta, Senin (9/4/2018)./JIBI-Dwi Prasetya
Pengendara mengisi bahan bakar di SPBU, di Jakarta, Senin (9/4/2018)./JIBI-Dwi Prasetya

Bisnis.com, JAKARTA — Makin tingginya disparitas harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dengan Pertamax dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan baru di masyarakat. Selain berpotensi menimbulkan kekacauan karena tidak tertutup kemungkinan masyarakat akan beralih menggunakan Pertalite, kelangkaan BBM dengan kadar oktan (research octane number/RON) 90 itu juga terus membayangi.

Selang beberapa waktu saja setelah ditetapkkan sebagai BBM jenis bahan bakar khusus penugasan atau JBKP menggantikan Premium, Pertalite juga ikut menghilang secara perlahan di sejumlah SPBU, seperti halnya yang terjadi pada Solar subsidi.

Berbagai pandangan dan prasangka mencuat di masyarakat, seperti adanya kesengajaan pemerintah maupun PT Pertamina (Persero) mengurangi pasokan Pertalite ke setiap SPBU sehingga mulai susah didapatkan. Dengan demikian, masyarakat mau tidak mau harus membeli BBM nonsubsidi Gasoline RON 92 atau Pertamax.

Namun, dengan naiknya harga Pertamax per hari ini (1/4/2022) dari Rp9.000 per liter menjadi Rp12.500—Rp13.000 per liter, sedangkan Pertalite tetap di angka Rp7.650 per liter, membuat potensi kelangkaan Pertalite makin besar.

Ulasan tentang potensi kelangkaan Pertalite ini menjadi salah satu pilihan Bisnisindonesia.id, selain beragam kabar ekonomi dan bisnis yang dikemas secara mendalam dan analitik tersaji dari meja redaksi Bisnisindonesia.id.

Berikut intisari dari top 5 News Bisnisindonesia.id yang menjadi pilihan editor, Jumat (1/4/2022):

 

1. Rusia Minta Pembayaran Gas dengan Rubel, Menyimpang dari Kontrak

Rusia mengatakan kepada negara-negara asing yang "tidak bersahabat" bahwa mereka harus mulai membayar gas dalam rubel atau akan pasokan akan dipangkas.

Presiden Rusia Vladimir Putin telah menandatangani dekrit yang menyatakan pembeli "harus membuka rekening rubel di bank Rusia" mulai Jumat (1/4/2022).

"Tidak ada yang menjual apa pun kepada kami secara gratis dan kami juga tidak akan melakukan amal, kontrak yang ada akan dihentikan [jika tak membayar dalam rubel]," kata Putin seperti ditulis BBC pada Kamis (31/3/2022).

Permintaan Putin dipandang sebagai upaya untuk meningkatkan nilai rubel, yang telah terkena sanksi Barat. Perusahaan dan pemerintah Barat menolak tuntutan Rusia untuk membayar gas dalam rubel dan memandang hal itu sebagai pelanggaran kontrak, yang ditetapkan dalam euro atau dolar AS.

Sejak Rusia menginvasi Ukraina, negara-negara Barat mengeluarkan sanksi ekonomi dan perdagangan terhadap Rusia, tetapi Uni Eropa tidak melarang minyak atau gas, tidak seperti Amerika Serikat dan Kanada, karena negara-negara anggota UE sangat bergantung pada pasokan Rusia.

Putin mengatakan peralihan ke rubel dimaksudkan untuk memperkuat kedaulatan Rusia dan akan mematuhi kewajibannya pada semua kontrak, apabila negara-negara Barat mewajibkan.

Jerman mengatakan perubahan yang diumumkan oleh Putin sama dengan "pemerasan". Pada konferensi pers, Menteri Ekonomi Jerman Robert Habeck mengatakan dia belum melihat dekrit baru yang ditandatangani Putin.

 

2. Harga Pertamax Naik, Bayangan Kelangkaan Pertamax Mulai Nyata

Selama ini, Pertalite disebut-sebut menjadi andalan bagi mayoritas masyarakat Indonesia karena paling banyak dikonsumsi, yakni sekitar 79 persen di antara jenis bensin lain seperti Pertamax, Pertamax Turbo, maupun Premium.

Pada 2021, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi Pertalite mencapai 23 juta kiloliter (KL). Peningkatan konsumsi Pertalite itu sudah terjadi sejak 2017.

Dengan naiknya harga Pertamax per 1 April 2022, dari Rp9.000 per liter menjadi Rp12.500—Rp13.000 per liter, sedangkan Pertalite tetap di angka Rp7.650 per liter, membuat potensi kelangkaan Pertalite makin besar.

Jika tidak diikuti dengan pengawasan secara ketat, bisa saja terjadi penyimpangan seperti peralihan konsumsi masyarakat dari Pertamax ke Pertalite hingga potensi penimbunan bahan bakar tersebut.

Narasi Institute menilai potensi peningkatan konsumsi Pertalite tidak hanya dipicu oleh faktor pengalihan statusnya menjadi BBM penugasan, tetapi juga diperparah dengan kenaikan harga Pertamax. Bukan tidak mungkin masyarakat yang sejatinya tidak berhak mendapatkan subsidi akan beralih menggunakan Pertalite.

Dampak lanjutannya, jika pasokan pertalite berkurang atau bahkan hilang di pasaran, masyarakat tentu akan menanggung akibatnya. Ditambah lagi dengan makin besarnya tunggakan kompensasi pemerintah ke Pertamina untuk membayar subsidi dapat membuat suplai Pertalite di kian menipis di pasaran.

 

3. Potensi Kenaikan Bunga Kredit dan Ancaman Tekanan Laba Bank

Di tengah tren pertumbuhan kredit yang terus meningkat dan suku bunga yang rendah, industri perbankan mulai menunjukkan gejala penurunan tingkat profitabilitas pada Februari 2022. Hal ini bisa jadi mengindikasinya berakhirnya era peningkatan kinerja bank.

Hal ini menarik, sebab kondisi ekonomi sejatinya cenderung terus membaik. Hanya saja, memang tak dapat dipungkiri bahwa sepanjang Februari 2022 lalu, gelombang ketiga pandemi menyebabkan terjadinya pengetatan mobilitas dan keraguan dunia usaha dalam menarik fasilitas kreditnya.

Di tengah tantangan ini, wacana peningkatan suku bunga kredit perbankan dapat makin menekan kinerja perbankan, meskipun hal tersebut kemungkinan sulit dihindarkan jika suku bunga global, terutama the Fed, terus meningkat.

Turunnya kinerja profitabilitas perbankan tercermin dari rasio margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) yang turun 13 basis poin atau dari 4,60 persen pada Januari 2022 menjadi 4,47 persen per Februari. Adapun return on asset (ROA) turun 21 bps menuju angka 2,32 persen.

Di sisi lain, kinerja perbankan per Februari 2022 memperlihatkan peningkatan efisiensi. Hal ini tecermin dari biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) yang turun dari 82,04 persen pada Januari 2022 menjadi 80,57 persen.

 

4. Gulir Kencang Bola Panas Investigasi Mafia Minyak Goreng

Bola panas tata niaga minyak goreng kembali bergulir cepat pekan ini. Di tengah pusaran investigasi dugaan praktik kartal migor, peralihan tata kelola perdagangan komoditas tersebut dari Kemendag ke Kemenperin juga tengah diuji efektivitasnya.

Awal pekan ini, penyelidikan terhadap dugaan kartel minyak goreng memasuki babak baru. Setidaknya 8 kelompok usaha diduga terlibat persekongkolan untuk menaikkan harga komoditas bahan pangan berbahan baku minyak kelapa sawit itu.

Delapan kelompok usaha tersebut, berdasarkan penelusuran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), menguasai lebih dari 70 persen pangsa pasar minyak goreng di dalam negeri.

Setelah mendapati satu bukti dugaan kartel, lembaga tersebut selanjutnya menelusuri bukti langsung adanya persekongkolan antarkelompok usaha itu dalam menaikkan harga minyak goreng selama 2 tahun terakhir.

Sebagai tindak lanjut atas temuan tersebut, medio pekan ini KPPU lantas membedah laporan keuangan konsolidasi dari 8 kelompok usaha minyak goreng yang diduga melakukan kartel atas komoditas itu sejak akhir tahun lalu.

 

5. Menakar Dampak Tarif Baru PPN pada Laju Kinerja Emiten

Keputusan pemerintah untuk menaikkan besaran tarif pajak pertambahan nilai (PPN) berisiko mengganggu laju pemulihan kinerja emiten. Kendati demikian, pelonggaran pembatasan mobilitas serta pemulihan ekonomi secara umum diharapkan dapat mengompensasi tekanan baru tersebut.

Pemerintah akan resmi memberlakukan tarif baru bagi PPN dari 10 persen menjadi 11 persen mulai esok, Jumat (1/4). Di tengah pro dan kontra yang masih beredar terkait kebijakan ini, tak ada pilihan lain bagi kalangan emiten selain siap untuk mengikuti kebijakan pemerintah tersebut. 

Kebijakan pemerintah menaikkan tarif PPN ini tertuang dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pada Pasal 7 ayat (1) UU HPP mengatur tarif PPN sebesar 11 persen dan akan berlaku mulai 1 April 2022.

Kebijakan ini memang berisiko menekan laju pemulihan ekonomi yang mulai terjadi tahun ini. Sejumlah kalangan pun telah meminta pemerintah untuk mengkaji kembali kebijakan ini. Namun, pemerintah bergeming. Kebijakan tersebut tetap akan berlaku esok.

Kebijakan pemerintah menaikkan tarif PPN ini persis terjadi menjelang bulan Ramadan. Di satu sisi, hal ini memang berpotensi menghambat laju konsumsi akibat kenaikan harga. Namun, di sisi lain, pemerintah tahun ini sudah tidak melarang aktivitas mudik sehingga membuka ruang pertumbuhan yang lebih besar bagi dunia usaha.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Nurbaiti
Editor : Nurbaiti
Sumber : Bisnisindonesia.id
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper