Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jalan Panjang Obat Herbal Bisa Naik Kelas  

Saat ini Indonesia hanya menduduki peringkat ke-19 pengekspor obat herbal dunia atau sekitar 0,61 persen. Indonesia tertinggal jauh dibandingkan Belanda yang berada di peringkat ke-3 dengan persentase ekspor mencapai 6,05 persen.
Pameran produk bahan baku industri farmasi, pangan fungsional, serta produk nutrisi dan kesehatan pada CPhI South East Asia dan Hi South East Asia 2017 di Jakarta, Rabu (22/3)./JIBI-Dwi Prasetya
Pameran produk bahan baku industri farmasi, pangan fungsional, serta produk nutrisi dan kesehatan pada CPhI South East Asia dan Hi South East Asia 2017 di Jakarta, Rabu (22/3)./JIBI-Dwi Prasetya

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia boleh berbangga memiliki kekayaan biodiversitas nomor dua di dunia, dengan 10 persen dari total spesies tumbuhan sejagat ada di negeri ini. Sayang seribu sayang, pemanfaatannya untuk kemandirian industri obat dan farmasi masih jauh panggang dari api.

Saat ini Indonesia hanya menduduki peringkat ke-19 pengekspor obat herbal dunia atau sekitar 0,61 persen. Indonesia tertinggal jauh dibandingkan Belanda yang berada di peringkat ke-3 dengan persentase ekspor mencapai 6,05 persen.

Industri farmasi domestik juga masih sangat bergantung pada impor bahan baku obat (BBO) dengan persentase mencapai lebih dari 90 persen. Angka ketergantungan tersebut tidak banyak berubah meski dalam beberapa tahun terakhir, telah berdiri perusahaan industri BBO hasil patungan PT Kimia Farma Tbk. dan Sungwung Pharmacopia Co.Ltd yakni PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia.

Ketergantungan yang tinggi terhadap BBO kimia sebenarnya bisa ditengahi dengan pengembangan bahan herbal menjadi obat, yang oleh masyarakat Indonesia dikenal luas sebagai jamu. Jamu yang telah melalui uji praklinik disebut obat herbal terstandar (OHT). Sedangkan jamu yang sudah melewati uji klinik tahap satu hingga tiga, dinamakan fitofarmaka atau Obat Modern Asli Indonesia (OMAI).

Total OHT yang terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebanyak 99 nomor izin edar (NIE). Sedangkan total jumlah fitofarmaka terdaftar berjumlah 35 NIE. Adapun, sampai dengan akhir tahun lalu, obat tradisional yang terdaftar mencapai 14.987 merek.

PT Dexa Medica, salah satu perusahaan industri pengembang obat herbal menyatakan fitofarmaka sebenarnya semakin berkembang, didukung oleh penggunaan di dunia kedokteran yang sudah dimulai sejak 2018 dan diresepkan oleh lebih dari 17.000 dokter.

Saat ini perseroan memiliki total 48 jenis produk dari bahan alami, terdiri atas 26 obat herbal terstandar (OHT) dan 22 fitofarmaka.

Namun demikian, laju pengembangan fitofarmaka tertahan regulasi yang membatasi penggunaannya pada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada peserta BPJS Kesehatan.

Direktur Urusan Korporat Dexa Group Krestijanto Pandji mengatakan regulasi tersebut yakni Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.54/2018 tentang penyusunan dan penerapan formularium nasional dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan.

Regulasi itu mengatur bahwa obat berbahan alam tidak bisa digunakan dalam JKN. Wacana revisi regulasi untuk memfasilitasi fitofarmaka masuk JKN itu telah muncul sejak akhir 2020.  

"Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia bersama Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan sedang mengupayakan Fitofarmaka masuk Formularium Nasional dan bisa digunakan di sistem JKN," kata Krestijanto kepada Bisnis.

Senada, Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) Elfiano Rizaldi mendorong fitofarmaka untuk masuk formularium nasional sehingga dapat digunakan oleh peserta BPJS. Hal itu akan memberikan kepastian pasar bagi pengusaha yang ingin berinvestasi mengembangkan fitofarmaka.  

Selain dapat mendukung pertumbuhan dan kinerja industri, fitofarmaka juga dapat menjadi jalan keluar ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku obat (BBO) impor. Namun, kembali lagi, syaratnya adalah kepastian pasar domestik yang akan memacu riset dan pengembangan teknologi fitofarmaka.

"Kalau fitofarmaka sudah masuk [formularium nasional], saya yakin industri farmasi atau pengusaha yang ingin mengembangkan produk herbal ini semakin banyak," kata Elfiano.

RISET MAHAL

Jalan Panjang Obat Herbal Bisa Naik Kelas  

Bahan obat herbal/Bisnis

Belum adanya jaminan pasar menyebabkan industriawan farmasi enggan mengeluarkan investasi yang besar untuk pengembangan OMAI. Elfiano mengatakan selama ini, investasi fitofarmaka sepi peminat karena selain nilainya besar, waktu yang dibutuhkan untuk pengembangan juga relatif lama antara satu hingga tiga tahun.

Presiden Direktur PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP) Pamian Siregar mengatakan setidaknya ada tiga tantangan utama pengembangan fitofarmaka yakni pembuktian ilmiah, standardisasi, dan edukasi bagi kalangan medis untuk penggunaannya.

"Pengembangan BBO berbasis bahan alam memang berbeda dengan berbasis sintesa farmaka," ujar Pamian.

Produsen farmasi PT Phapros Tbk. (PEHA) mengakui bahwa besarnya investasi merupakan ganjalan terbesar pengembangan fitofarmaka di Indonesia. Produsen Antimo itu saat ini telah memiliki dua produk fitofarmaka dengan merek Tensigard dan X-Gra.

"Fitofarmaka adalah produk herbal yang telah lolos uji praklinik dan klinik, dimana uji klinik sendiri tantangannya cukup besar, baik dari sisi efikasi, safety dan juga cost atau biaya," kata Sekretaris Perusahaan Phapros Zahmilia Akbar.

Sementara sinergi antara industri farmasi dan regulator kesehatan diperlukan, pemerintah belum memiliki peta jalan pengembangan obat herbal.

Plt. Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian Ignatius Warsito mengatakan penyusunan peta jalan dan rencana aksi pengembangan fitofarmaka akan dikonsolidasikan.

Warsito juga mengatakan pengembangan industri fitofarmaka tidak bisa berdiri sendiri, melainkan diselaraskan dengan program dan instrumen lain. Hal itu antara lain program percepatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN), standardisasi, dan pengembangan teknologi.

"Kami sudah bertemu dengan beberapa industri farmasi berbasis herbal. Kami perlu membuat roadmap dan rencana aksi, bagaimana satu sampai 3 tahun ke depan, bagaimana mendorong itu bisa digunakan atau dimanfaatkan di pasar domestik maupun untuk tujuan ekspor," kata Warsito.

Industri farmasi domestik pernah tersentak dengan kemacetan rantai pasok BBO di awal masa pandemi ketika negara-negara importir menutup keran pengapalan. Kondisi itu kesadaran para pemangku kepentingan dan pelaku industri mengenai pentingnya kemandirian industri obat terutama di sektor hulu.

Kini, di saat pandemi mulai memudar dan rantai pasok dunia perlahan membaik, semoga cita-cita kemandirian bahan baku obat dan pengembangan OMAI tidak ikut luntur.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Reni Lestari
Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper