Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon dengan menetapkan target Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat jika mendapat dukungan internasional.
Namun untuk mewujudkan target tersebut melalui pembangunan rendah karbon, dibutuhkan investasi yang sangat besar.
Pasalnya, untuk melakukan transisi energi diperlukan kesadaran untuk beralih menggunakan produk yang efisien dan ramah lingkungan serta persiapan migrasi ke green jobs.
Di lain sisi, peluang yang bisa diperoleh Indonesia yaitu terciptanya lapangan kerja hijau, dekarbonisasi sektor transportasi dan pengaturan perdagangan karbon.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, perubahan iklim Indonesia membutuhkan pendanaan sebesar Rp3.799 triliun jika mengikuti NDC (Nationally Determined Contribution).
Di 2020, dana yang tersedia untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim adalah US$100 juta untuk diberikan kepada negara miskin dan berkembang sebagaimana dikonfirmasi pada COP-26 di Glasgow Scotland pada November 2021.
Baca Juga
"Pemenuhan lainnya berasal dari pendanaan internasional seperti GCF (Green Climate Fund) melalui program REDD+, sukuk hijau global, sukuk hijau ritel, APBD, pajak karbon, dan perdagangan karbon," kata Airlangga, mengutip siaran pers, Selasa (15/3/2022).
Saat ini, harga jual karbon berkisar antara US$5-10 per ton CO2. Hasil Kesepakatan COP-26 semakin meningkatkan permintaan global akan kredit karbon, sehingga harga jual karbon menjadi lebih tinggi.
Airlangga mengatakan, hutan dan lautan Indonesia yang luas berpeluang menghasilkan kredit karbon yang bisa ditransaksikan di tingkat global.
"Indonesia memiliki potensi pendapatan sebesar US$ 565,9 miliar atau setara dengan Rp8.000 triliun dari perdagangan karbon dari hutan, mangrove dan gambut," ungkapnya.
Selain itu, Airlangga memandang Presidensi G20 bisa digunakan untuk melakukan kerjasama ini dengan negara-negara maju. Dengan begitu, target Net Zero Emission bisa tercapai sebelum 2060.