Bisnis.com, JAKARTA - Meroketnya harga komoditas nikel dunia berpotensi mendongkrak harga patokan mineral (HPM) nikel pada April 2022. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) memproyeksikan harga ini bisa saja menyentuh US$80 per wet metrik ton pada bulan depan.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey menjelaskan bahwa lompatan harga saat ini akan berpengaruh tajam pada HPM April. Adapun, hitungan HPM ditetapkan berdasarkan harga acuan tiga bulan ke belakang.
Dalam draf harga patokan nikel Maret 2022, nikel kadar 1,70 persen dengan corrective factor (CF) 18 persen FoB dihargai US$50,42 per wet metrik ton untuk kandungan air (MC) 30 persen serta US$46,82 per wmt untuk kandungan air 35 persen.
Sedangkan kadar nikel 1,80 persen dengan corrective factor 19 persen FoB dihargai US$56,35 per wmt. Kemudian untuk kandungan air 35 persen diperdagangkan pada level US$52,32 per wmt. Namun demikian, draf Maret masih menunggu persetujuan pemerintah melalui Keputusan Menteri ESDM Arifin Tasrif.
Nilai ini mengacu pada harga mineral acuan nikel (HMA) sebesar US$23.537 per dry metrik ton (dmt). HMA ini diambil dari rata-rata nikel London Metal Exchange sejak 20 Januari 2022 - 19 Februari 2022. Meidy memperkirakan harga patokan pada April nanti akan mencapai nilai tertinggi setidaknya dalam beberapa tahun terakhir.
“Ini dengan harga nikel waktu itu yang kita hitung di US$23.537,05 per dmt. Nah sekarang kan harga nikel sudah di atas US$50.000 per dmt. Berarti bulan April kalau perhitungan kami bisa menembus US$80 per wmt untuk bijih nikel kadar 1,80 persen,” katanya kepada Bisnis, Selasa (8/3/2022).
Baca Juga
Dalam aturannya, penetapan harga patokan menggunakan skema Free on Board (FoB). Skema ini menempatkan pembeli atau smelter sebagai pihak yang menanggung biaya pengapalan dan asuransi. Namun begitu, saat ini kata Meidy, smelter hanya membeli dengan skema CIF.
Skema Cost, Insurance and Freight (CIF) menempatkan pihak penjual untuk menanggung segala urusan dalam pengapalan termasuk asuransi. Skema ini menjadikan perusahaan tambang tidak dapat menerima pendapatan secara maksimal. Pasalnya mereka harus menanggung biaya paling sedikit US$6 per ton.
“Bagaiman dengan teman-teman [penambang yang berada] di lokasi jauh dengan smelter. Bisa mengcover sampai US$10 - US$15 per ton,” terangnya.
Dia meminta pihak smelter untuk menjalankan transaksi sesuai Peraturan Menteri ESDM No 11/2020. Dalam pasal 2A Permen tersebut dijelaskan bahwa Pemegang IUP Operasi Produksi Mineral Logam dan IUPK Operasi Produksi Mineral Logam yang memproduksi bijih nikel, wajib mengacu pada HPM Logam dalam melakukan penjualan bijih nikel yang diproduksi.
Sementara itu, APNI juga meminta agar komoditas turunan nikel seperti cobalt ikut dihargai oleh pembeli. Selama ini, smelter hanya membeli nikel ore meski terdapat turunan cobalt.
“Mereka hanya membayar nikel, mineral turunan kenapa tidak dihitung. Sedangkan itu potensi penerimaan negara. Kan nggak lucu. Negara loss lagi,” tuturnya.
Pekan ini, harga nikel mengalami lompatan tertinggi sepanjang sejarah. Pada Selasa (8/3/2022), harga nikel yang dipublikasi London Metal Exchange mengalami penguatan tajam mencapai US$101.350 per dry metrik ton atau sekitar 110,80 persen dibandingkan perdagangan sebelumnya.
Bursa London Metal Exchange mencatat harga nikel mengalami peningkatan tajam dengan penguatan 18.717 poin dari perdagangan akhir pekan sebelumnya menjadi US$48.211 per dmt pada Senin (7/3/2022).
Penguatan juga terjadi untuk kontrak April menyentuh US$48.131 per dmt. Lonjakan harga juga terjadi untuk kontrak Mai dengan meningkat 65,10 persen atau 18.964 poin dari perdagangan sebelumnya.
Tradingeconomics menyebutkan bahwa lonjakan harga nikel ini setidaknya tertinggi dalam 15 tahun terakhir. Penguatan harga ini disebabkan oleh adanya sanksi Barat terhadap Rusia, setelah negara itu menginvasi Ukraina.
Langkah politik Presiden Rusia Vladimir Putin itu dinilai dapat memicu kekhawatiran akan pasokan logam. Sanksi yang diberikan kepada Rusia memberikan pukulan telak bagi pasokan nikel dunia. Pasalnya, Rusia menjadi produsen ketiga terbesar di dunia mencapai 250.000 ton pada 2021.
Saat ini, Indonesia masih menjadi produsen terbesar nikel dunia dengan mencapai 1 juta ton pada 2021. Disusul Filipina 370.000 ton, Rusia, Kaledonia Baru 190.000 ton serta Australia 160.000 ton.
Berbeda dengan negara lain, Indonesia telah menghentikan ekspor bijih nikel mentah. Kini RI hanya mengekspor nikel dalam bentuk olahan seperti ferro nickel dan nickel pig iron.
Selain itu, penguatan harga komoditas ini juga dipicu oleh meningkatnya permintaan baja tahan karat, industri baterai, serta berkurangnya pasokan di dunia.