Bisnis.com, JAKARTA - Persaingan bebas industri tekstil domestik dengan Bangladesh harus direspons dengan cepat oleh pemerintah dengan serangkaian kebijakan untuk menopang daya saing. Hal itu menyusul target penyelesaian Indonesia-Bangladesh Preferential Trade Agreement (IB-PTA) pada tahun ini.
Institute For Development of Economics and Finance (Indef) menggarisbawahi bahwa pasar terbuka adalah sebuah keniscayaan, meski harus didukung dengan level of playing field yang setara agar tak merugikan industri lokal.
Peneliti di Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan agar dapat bersaing, pemerintah hendaknya memberikan insentif untuk mengintervensi struktur biaya produksi sehingga dapat mengejar keunggulan kompetitif tekstil Bangladesh.
"Pemerintah harus merespsn cepat karena ini bukan urusan satu dua sektor. Pemerintah di berbagai kementerian dan lembaga harus segera rapat terbatas dan menghasilkan kebijakan yang menjadikan industri tekstil kita bisa bersaing secara level playing field," kata Heri saat dihubungi Bisnis, Selasa (8/3/2022).
Sejumlah faktor dalam struktur biaya produksi seperti gas industri, listrik, upah pekerja, dan kemudahan logistik harus menjadi pertimbangan pemerintah, baik dalam perundingan perjanjian maupun perumusan insentif.
Heri meyakini industri tekstil akan tetap menjadi salah satu primadona di antara sektor-sektor manufaktur lain. Alih-alih mengalami masa sunset, industri tekstil dapat terus tumbuh jika didukung dengan kebijakan yang menopang kinerja dan pemulihan.
Baca Juga
"Kita tidak menutup diri untuk bersaing dengan negara-negara lain, tetapi industri lokal harus diperhatikan," lanjutnya.
Sementara itu, di sisi level of playing field, Indonesia dinilai akan kalah bersaing dengan Bangladesh. Dari harga gas industri misalnya, Bangladesh menerapkan harga US$3,22 per MMBTU untuk pelaku tekstilnya. Selain itu, tarif listrik juga flat sebesar US$0,105/kWh. Bangladesh juga merupakan eksportir pakaian jadi terbesar kedua di dunia dengan nilai per 2020 sebesar US$36,13 miliar.
Bandingkan dengan harga gas industri di Indonesia yang berkisar US$11-12 per MMBTU, dan tarif listrik tidak flat dengan jam malam lebih mahal. Dari kinerja ekspor, Indonesia menduduki posisi 11 dunia dengan nilai US$6,98 miliar.