Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menerangkan bahwa pengembangan pembangkit energi baru terbarukan di Indonesia masih tertatih-tatih. Sejumlah faktor dinilai menjadi sebab.
“Niat sudah ada tapi dalam pelaksanaannya masih tertatih-tatih. Kebijakan masih belum sinkron, karena terjebak dengan rezim fossil fuels. Kondisi pandemi juga membuat pemerintah jadi lebih berhati-hati membuat langkah-langkah yang radikal” katanya kepada Bisnis, Senin (7/3/2022).
Kementerian ESDM mencatat bahwa total kapasitas terpasang energi baru terbarukan baru mencapai 11.157 megawatt (MW) pada 2021. Padahal target yang ditetapkan ada sebesar 11.357 MW. Tahun ini, kementerian membidik realisasi kapasitas terpasang EBT menyentuh 11.804 MW.
Menurutnya, subsidi energi fosil yang terus meningkat saban tahun menghambat pengembangan energi terbarukan. Pasalnya harga energi terbarukan harus bersaing dengan energi fosil yang disubsidi.
Di sisi lain, kebijakan domestic market obligation (DMO) batu bara, kata dia juga akan membuat PLN kian mengoptimalkan pemanfaatan PLTU dan menomorduakan energi terbarukan. Kata Fabby, perlu adanya koreksi atas kebijakan-kebijakan tersebut.
Bahkan dengan harga energi fossil hari ini, semua harga energi ET dari teknologi yang komersial saat ini disebut sudah bersaing dengan harga listrik PLTU. Hal ini berlaku apabila batu bara tidak disubsidi.
Baca Juga
“Dengan [asumsi] harga batu bara rata-rata US$150/ton, maka harga listrik dari PLTU sudah di atas Rp1600/kWh. Padahal PLTS + storage, bisa lebih murah dari pada harga tersebut. Demikian juga dengan listrik dari PLTP.”
Di sisi lain, IESR menilai kunci akselerasi pengembangan EBT adalah kemauan kuat atau political will dari pemerintah. Presiden dan para jajarannya disebut perlu segera mengembangkan energi terbarukan secara cepat. Sekaligus menetapkan target mengurangi ketergantungan pada energi fosil dalam sedekade ke depan.