Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) menyatakan pasar obat herbal teruji klinis atau fitofarmaka belum terjamin, sedangkan pengembangannya membutuhkan investasi besar.
Direktur Eksekutif GPFI Elfiano Rizaldi mengatakan pihaknya mendorong fitofarmaka untuk masuk formularium nasional sehingga dapat digunakan oleh peserta BPJS Kesehatan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal itu akan memberikan kepastian pasar bagi pengusaha yang ingin berinvestasi mengembangkan fitofarmaka.
Selama ini, investasi fitofarmaka sepi peminat karena selain nilainya besar, waktu yang dibutuhkan untuk pengembangan juga relatif lama antara satu hingga tiga tahun.
"Kalau fitofarmaka sudah masuk [formularium nasional], saya yakin industri farmasi atau pengusaha yang ingin mengembangkan produk herbal ini semakin banyak. Kalau tidak masuk, mereka pikir, ngapain capek-capek keluar investasi, habis waktu, SDM, toh tidak dipakai dokter juga," kata Elfiano kepada Bisnis, Senin (7/3/2022).
Berdasarkan catatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sudah ada 27 produk fitofarmaka, 86 obat herbal terstandar (OHT), dan 14.987 jamu tradisional yang terdaftar dan memiliki izin edar.
Elfiano melanjutkan, puluhan produk fitofarmaka tersebut selama ini belum banyak diresepkan dokter karena keterbatasan penggunaannya pada pasien non peserta BPJS Kesehatan.
Baca Juga
Pihaknya mendorong Kementerian Kesehatan segera menelurkan regulasi yang memungkinkan fitofarmaka masuk Fornas. Tak hanya dari industri, Elfiano mengaku juga telah mengantongi dukungan dari DPR dan telah menyurati Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi.
Selain dapat mendukung pertumbuhan dan kinerja industri, fitofarmaka juga dapat menjadi jalan keluar ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku obat (BBO) impor. Namun, kembali lagi, syaratnya adalah kepastian pasar domestik yang akan memacu riset dan pengembangan teknologi fitofarmaka.
"Bisa [fitofarmaka menggantikan BBO kimia], dengan penyakit-penyakit tertentu dulu. Ada juga nanti perkembangan teknologinya, bahwa Indonesia juga bisa melakukan penelitian untuk obat herbal dan fitofarmaka," jelasnya.
Plt. Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian Ignatius Warsito sebelumnya mengatakan tengah menyusun peta jalan pengembangan fitofarmaka dalam jangka menengah hingga tiga tahun mendatang. Hal itu selaras dengan target substitusi impor yang ditargetkan sebesar 35 persen pada tahun ini.
"Kami sudah bertemu dengan beberapa industri farmasi berbasis herbal. Kami perlu membuat roadmap dan rencana aksi, bagaimana satu sampai 3 tahun ke depan, bagaimana mendorong itu bisa digunakan atau dimanfaatkan di pasar domestik maupun untuk tujuan ekspor," jelas Warsito.