Bisnis.com, JAKARTA - Pengembangan fitofarmaka atau obat herbal teruji klinis, menjadi harapan di tengah ketergantungan industri farmasi yang tinggi terhadap bahan baku obat (BBO) impor.
Meski demikian, arah pengembangannya masih samar-samar. Kementerian Perindustrian kini tengah menyusun peta jalan pengembangan industri fitofarmaka sebagai bagian dari program substitusi impor. Sebelumnya oada akhir 2020 Kemenperin menyatakan tengah mulai menyusun rencana aksi pengembangan fitofarmaka.
Plt. Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Ignatius Warsito mengatakan sejauh ini penyusunan peta jalan dan rencana aksi tersebut akan kembali dikonsolidasikan.
"Kami sudah bertemu dengan beberapa industri farmasi berbasis herbal. Kami perlu membuat roadmap dan rencana aksi, bagaimana satu sampai 3 tahun ke depan, bagaimana mendorong itu bisa digunakan atau dimanfaatkan di pasar domestik maupun untuk tujuan ekspor," kata Warsito kepada wartawan, Senin (7/3/2022).
Sebelumnya diketahui, tingkat importasi BBO oleh industri farmasi dalam negeri masih berkisar 95 persen. Hal ini menjadi ganjalan serius jika pemerintah bertujuan mewujudkan kemandirian industri farmasi dan alat kesehatan. Pada masa awal pandemi misalnya, sempat terjadi kemacetan pasokan BBO karena pembatasan ketat di negara-negara sumber impor seperti China dan India.
Sementara industri hilir farmasi dengan produk obat jadi sudah bisa memenuhi lebih dari 90 persen kebutuhan dalam negeri, hal yang bertolak belakang terjadi di industri hulu. Kondisi ini menjadikan industri farmasi masih lemah secara struktur sehingga rentan terhadap guncangan eksternal.
Baca Juga
Warsito melanjutkan pengembangan industri fitofarmaka tidak bisa berdiri sendiri, melainkan diselaraskan dengan program dan instrumen lain. Hal itu antara lain program percepatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN), standardisasi, dan pengembangan teknologi.
"Ini sangat penting untuk mendapat suatu solusi kepastian rantai pasoknya," lanjut Warsito.
Sementara itu, terkait kemandirian BBO berbasis kimia, Kemenperin bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan mendata utilitas kapasitas produksi di sektor hulu petrokimia dengan investasi yang kini tengah berjalan. Dua diantaranya yakni oleh PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. (CAP) dan Lotte Chemical Indonesia.
Kedua proyek pengembangan fasilitas poduksi yang diproyeksi selesai apda 2024 itu diharapkan mendukung akselerasi substitusi impor di industri farmasi.
"Saya melihat satu bulan terakhir , mereka [pelaku usaha] berharap bahwa bahan baku obat aktif ini bisa didorong lebih cepat investasinya di dalam negeri. Ini perlu instrumen lain seperti P3DN dan standar SNI- nya, untuk bisa memberikan kepastian investasi," ujarnya.