Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan otorisasi penggunaan darurat (emergency use authorization/EUA) untuk produksi molnupiravir pada 2 Januari 2022.
Obat tersebut digunakan pada terapi pasien Covid-19 dengan gejala ringan dan sedang pada usia 18 tahun ke atas, yang tidak memerlukan supplemental oksigen, serta berisiko mengalami peningkatan gejala yang lebih berat.
Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan, produksi molnupiravir dapat dimulai antara Mei–Juni 2022. Telah ada dua produsen obat yang akan memproduksi molnupiravir, yakni PT Amarox Pharma Global yang merupakan anak perusahaan Hetero Labs, Ltd. asal India, dan PT Kimia Farma Tbk. (KAEF).
“Badan POM melakukan pendampingan pemenuhan persyaratan cara pembuatan obat yang baik [PT Amarox Pharma]. Pada 3 Januari [2022] terbit surat persetujuan penggunaan fasilitas kapsul keras untuk produksi molnupiravir,” kata Penny dalam rapat dengar pendapat di DPR, kemarin.
Sementara itu, Kimia Farma telah mendapatkan lisensi dari medicines patent pool, dan saat ini sedang proses penyiapan berkas pengajuan ke WHO.
Otorisasi penggunaan molnupiravir melengkapi EUA yang telah diterbitkan untuk tiga jenis obat terapi Covid-19 lainnya, yakni regdanvimab pada 17 Juli 2021, remdesivir di 19 September 2020, dan favipiravir pada 3 September 2020.
Baca Juga
Terkait obat jenis favipiravir, saat ini sudah ada lima produsen farmasi lokal yang telah mengantongi EUA dari BPOM, yakni Kimia Farma, Kalbe Farma, Novell, Amarox Pharma Global, dan Lapi Laboratories.
Namun, dari lima produsen tersebut baru dua yang sudah aktif memproduksi favipiravir, yakni Kimia Farma dan PT Kalbe Farma Tbk. (KLBF).
Dihubungi terpisah, Direktur dan Corporate Secretary Kalbe Farma (KLBF) Bernadus Karmin Winata mengatakan, pihaknya telah menyiapkan stok obat, baik produk jadi maupun bahan baku yang cukup untuk mengantisipasi kenaikan pasien Covid-19.
“Target produksi dan distribusi selanjutnya akan menyesuaikan dengan perkembangan kondisi yang terjadi,” ujar Bernadus.
Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) menyatakan, produsen saat ini mengalami kelebihan stok obat Covid-19 karena penurunan kasus pada akhir tahun lalu.
Dengan demikian, jika kembali terjadi lonjakan kasus, stok yang ada diperkirakan akan mencukupi kebutuhan obat dalam negeri.