Bisnis.com, JAKARTA - Perang antara Rusia dan Ukraina memberi dampak buruk terhadap kondisi fiskal dan moneter Indonesia seiring dengan kenaikan harga minyak dan gas bumi.
Penguatan harga migas memberi tekanan lebih bagi Indonesia sebagai net importir. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor migas sepanjang 2021 mencapai US$196,20 miliar atau setara US$2.805 triliun (kurs Rp14.300 per dolar AS).
Capaian ini meningkat 38,59 persen dibandingkan 2020 dengan nilai impor US$141,57 miliar atau setara Rp2.024 triliun. Kenaikan harga migas pada tahun ini berpotensi memperbesar biaya impor komoditas energi tersebut.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menjelaskan bahwa situasi perang di Eropa Timur berdampak pada aspek fiskal dan moneter negara. Selain sebagai net importir, RI juga berposisi sebagai price taker atau pengambil harga (bukan pengatur harga).
“Karena masih mempertahankan subsidi energi terutama subsidi BBM, maka kenaikan harga minyak akan menekan kondisi fiskal,” katanya kepada Bisnis, Senin (28/2/2022).
Subsidi ini masuk melalui dua jalur. Pertama, melalui anggaran subsidi yang disepakati dalam APBN. Kedua, melalui dana atau anggaran kompensasi kepada BUMN yang ditugaskan.
Sementara itu dari sisi moneter, penguatan harga minyak disinyalir akan menekan kondisi neraca dagang, akibat kebutuhan devisa impor migas makin besar.
“[Indonesia] Relatif tidak banyak yang bisa dilakukan pada dasarnya. Kita dalam posisi price taker dan butuh. Sementara kemampuan domestik masih sulit ditingkatkan,” terangnya.
Berdasarkan data Bloomberg, Senin (28/2/2022) harga minyak West Texas Intermediate (WTI) naik 4,68 poin atau 5,11 persen ke US$96,27 per barel. Sementara itu, harga minyak Brent masih bertahan di atas US$100, naik 3,93 poin atau 4,01 persen ke US$101,86 per barel.
Adapun, pemerintah menetapkan target produksi siap jual atau lifting di 2022 sebesar 703.000 barel minyak per hari (bopd) dan 5.800 juta standar kaki kubik per hari (MMscfd) gas bumi.