Bisnis.com, JAKARTA — Badan Kebijakan Fiskal atau BKF Kementerian Keuangan mencatat bahwa tidak terdapat peningkatan belanja modal atau capital expenditure dari korporasi berbasis komoditas sepanjang 2021, meskipun di akhir tahun terjadi lonjakan harga komoditas yang sangat tinggi.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro BKF Abdurohman menjelaskan bahwa pada 2021 terdapat momentum durian runtuh (windfall) di sektor komoditas seiring kenaikan harga secara global. Harga komoditas energi seperti batubara, gas, dan minyak mentah, serta komoditas unggulan Indonesia lainnya seperti nikel, CPO, dan karet terus mengalami kenaikan.
Pihaknya mencatat bahwa terdapat kenaikan kas (outstanding cash) dari korporasi berbasis komoditas sebagai buah dari windfall commodity boom tersebut. Hingga kuartal III/2021, outstanding cash korporasi berbasis komoditas di Indonesia mencapai Rp130,1 triliun, naik dari posisi 2020 senilai Rp88,2 triliun dan 2019 senilai Rp79,3 triliun.
Sayangnya, menurut Abdurohman, tren pertumbuhan tidak tercermin dari kondisi capital expenditure (capex), yang justru terus menurun sejak 2018. Pada kuartal III/2021, capex korporasi berbasis komoditashanya Rp23,9 triliun atau turun dari 2020 senilai Rp28,2 triliun, 2019 senilai Rp48 triliun, dan 2018 yang tertinggi di Rp52,6 triliun.
"Kami coba lihat dan cermati lebih dalam sektor-sektor yang menikmati windfall dari commodity boom. Outstanding cash-nya mengalami peningkatan seiring dengan naiknya harga komoditas, tetapi dari sisi capex cukup ironis karena justru mengalami penurunan," ujar Abdurohman pada Senin (21/2/2022).
Menurutnya, kondisi 2021 berbeda dengan commodity boom sebelumnya pada 2011, ketika kenaikan kas berbanding lurus dengan tumbuhnya capex. BKF menilai pandemi Covid-19 menjadi faktor utama yang membuat kondisi 2021 berbeda dengan 2011 lalu.
Abdurrohman menilai bahwa terdapat kemungkinan korporasi berbasis komoditas masih memantau (wait and see) perkembangan ekonomi jangka panjang. Selain itu, investor menunggu potensi bisnis baru yang lebih menguntungkan dan berkelanjutan pasca pandemi Covid-19.
"Ada peluang untuk mendorong mereka naik, tetapi kita juga perlu waspada apakah ini menjadi semacam shifting dari perilaku investor setelah adanya pandemi," ujarnya.