Bisnis.com, JAKARTA – Program Jaminan Hari Tua (JHT) yang baru bisa dicairkan saat usia 56 tahun dinilai bakal berdampak pada penurunan daya beli buruh atau pekerja yang kehilangan pekerjaan.
Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 2/2022 soal JHT cenderung tidak adil bagi para pekerja dan buruh, jika harus menunggu usia 56 tahun.
“Buruh yang kehilangan pekerjaan berhak sebenarnya atas JHT tadi, karena belum tentu dia akan melanjutkan kerja sebagai karyawan, mungkin dia jadi wirausaha, untuk membuka usaha juga butuh modal, nah dengan JHT ini dapat membantu,” ujar Bhima, Selasa (15/2/2022).
Selama ini, lanjutnya, jaminan sosial tersebut berasal dari iuran pekerja. Iuran tersebut dipotong dari gaji para pekerja bersamaan dari perusahaan yang dibayarkan kepada BPJS Ketenagakerjaan.
Bhima menjelaskan, Jika JHT ketika pada saat PHK tidak diberikan dan belum memasuki usia 56 tahun, gaji yang sebelumnya disisihkan tersebut tidak kembali kepada pekerja. Kondisi ini akan memberikan dampak pada menurunnya daya beli.
Dampaknya, mereka yang terpaksa mengalami PHK dan membutuhkan jaminan sosial dari pemerintah dalam bentuk JHT ini terancam daya belinya.
Dia juga menyampaikan bahwa pekerja yang paling rentan ialah mereka yang berada pada usia 40 tahun ke atas. Mereka membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan JHT dan akan mengalami kesulitan untuk dapat mempertahankan biaya hidupnya.
“Jadi yang kasian yang nanggung-nanggung, yang muda okelah bisa cari pekerjaan baru misalnya. Tapi bagaimana pada usia yang sudah mencapai 40 tahun,” ujarnya.
Efek yang paling mengkhawatirkan bagi negara adalah para pekerja yang tergolong rentan tersebut dapat jatuh ke bawah garis kemiskinan.
Meskipun terdapat program jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), mereka yang terkena PHK sepanjang 2022 usai peraturan ini berlaku kemungkinan besar mereka belum terlindungi.
“Jadi yang rentan itu para pekerja yang di PHK pada masa transisi ini,” kata Bhima.